Selasa, 08 Januari 2013

Ziarah Makam Anggota Mapala UI - TPU Tanah Kusir 12 Desember 2012


Menjelang ulang tahun Mapala UI yang ke-48 diadakan acara pra ulang tahun seperti melaksanakan kunjungan ke makam anggota Mapala UI. Rencana kunjungan direncanakan oleh Badan Pengurus (BP) Mapala UI ke TPU Tanah Kusir dan Fatmawati di Jakarta Selatan pada Rabu, 12 Desember 2012. Sayapun mencoba menyisihkan waktu kerja untuk berziarah dengan memilih ke TPU Tanah Kusir. Rencana kita akan berkumpul di warung dekat tempat parkir dan saya tiba pukul 13.30 lebih setengah jam dari jam yang ditentukan BP, tetapi waktu tiba disana belum ada anak BP. Lebih kurang pukul 14.00 kamipun berkumpul Mbak Nessy, Izma sang ketua beserta tiga pengurus BP, Anset dan saya, turut serta juga dua orang penggiat pecinta alam seangkatan mbak Nessy.
Kunjungan pertama kami ke makam Norman Edwin yang meninggal di Gunung Aconcagua perbatasan Argentina Cili pada April 1992 pada usia 37 tahun. Makam ini berlokasi antara tempat parkir dengan kantor administrasi, yang bila menghadap kantor tersebut posisinya di sebelah kiri. Makamnya cukup terawat paling sedikit menurut pengakuan tukang urus makam, tak lupa doa secara Islam dilafalkan oleh dua orang petugas masjid setempat yang diminta datangkan oleh mbak Nessy.
Makam Norman Edwin
Makam kedua yang kami kunjungi sebelah Timur Laut makam Norman Edwin dengan jarak lebih kurang 50 meter milik Hartono Basuki Wibowo yang meninggal di Cartensz Pyramid Pegunungan Jayawijaya pada 21 April 1981 pada usia 22 tahun 10 bulan. Petugas masjid yang sama juga melafalkan doa yang sama di atas makam yang terlihat kurang terawat.  
Makam Hartono Basuki Wibowo
Tujuan kami berikutnya adalah makam Yosef Budi “Belek” Laksmono yang meninggal di Sungai Alas Aceh Tenggara pada 25 Januari 1986 pada usia 27 tahun 7 bulan. Lokasi makam ini terpisah dari kedua makam sebelumnya karena makam Budi Belek pada kompleks Kristen lebih ke arah Barat, sebelah kanan jalan dari arah parkiran berjarak sekitar 100 meter-an. Posisi nisan menghadap utara di sekitar bawah mushola. Sama seperti kunjungan pada dua makam lainnya kami menaburkan kembang serta menuang air wewangian. Tetapi di makam ini kami tidak berdoa bersama dan sayapun berdoa sendirian saja karena mbak Nessy yang dituakan juga keberatan mimpin doa.
Berfoto bersama Andi Setiadi dekat makam Budi Belek Laksmono
Setelah berfoto kamipun bergerak pulang kembali dan janjian bertemu di sekretariat pada malam harinya untuk mendengarkan debat calon ketua dalam rangka acara pemilihan ketua umum yang biasa dilaksanakan berbarengan dengan acara Ulang Tahun Mapala UI, tetapi dengan sangat menyesal saya ingkar datang Mbak Nessy karena ada kerjaan kantor. 

Sabtu, 22 Desember 2012

Gowes Muara Karang 3 November 2012



Ketagihan gowes malam? Hahaha mungkin.. Saya sounding siapa yang mau gowes malam ke grup BKP’93. Banyak yang respon berseragam yang intinya pada ogah. Tapi kebenaran ada satu teman si Iman yang seneng aja. Rupanya dia juga susah cari teman gowes. Singkat kata kami janjian bertemu di Izzi Piza Pancoran sekitar pukul 17.30. Saya angkut sepeda dengan braket di bagian belakang mobil yang sudah saya beli beberapa minggu lalu seharga 400ribu untuk dua sepeda. Saya nebeng sampai di menteng dan lanjut ke Pancoran. Dari Pancoran kami gowes dengan tujuan Pasar Ikan Muara Karang melalui Gatot Subroto, Semanggi, naik ke fly over Tomang dan Grogol. Antrian kendaraan padat di Grogol berlanjut terus hingga ke depan Seasson City. Lanjut lagi ke arah Pluit gowes terus. Di perempatan Pluit sebelah kiri Emporium Mall, Gedung Honey Lady lalu Pulit Junction dan di sebelah kanan RS. Atmajaya Pluit. Lanjut hingga ke Mall Pluit lalu belok kiri dan nyebrang kali. Gowes terus hinga pertigaan kiri ke kamal dan kami ke kanan. Tidak berapa jauh kami belok kiri masuk dan masuk ke area Pasar Ikan. Layaknya pasar tradisional di Indonesia, pasar ini jorok sekali dengan banu menyengat. Jalan becek meskipun terbuat dari beton masih ada saja genangan air. Kadang dengan malas kami harus menjejakkan kaki ke jalan yang becek dan bau itu menunggu gerobak lewat atau truk yang sedang muat ikan. Kami lanjut lagi hingga ke ujung parkiran dan belok kiri ke kawasan rumah makan-rumah makan. Saya coba ingat terakhir kali makan disini sekitar 5 tahun yang lalu dan bisa dibilang tidak banyak yang berubah. Kami tuntun sepeda mengikuti salah satu penjaja rumah makan yang menawarkan warungnya di pintu masuk tadi.

Beli ikan bisa di pelelangan atau langsung di warung makan, dan ikan kuwe siap akan dibakar,
di latar depan sepeda  kami

Kelapa muda datang, mmmm nikmat sekali, saya tidak lapar tapi haus
Menu yang kami pesan, siap disikat oleh Iman Sulaeman

Iman Sulaeman dan Paul S Hutauruk, ngejoprak di emperan Circle K sambil minur bir dan air mineral...

Menanti seseorang kata si Iman..hah!? latar depan sepeda Giant Iman sedang parkir terbalik..

Saya mengambil foto ini dari emperan dan saya suka aja...lampu  kuning  dan merahnya  melintas membentuk panah dan dibawahnya petugas masih melayani pelanggan di SPBU shell 24 jam ini

Parkir di depan pintu masuk Circle K, sepeda Giant Iman parkir terbalik dan  United  hijau saya disamping kanan
 Kami segera pesan kelapa muda, ikan kuwe bakar dan udang goreng mentega. Tak lupa si Iman minta otak-otak juga. Saya sebenarnya tidak begitu lapar tetapi haus iya. Waktu ini saya belum punya ransel kecil yang biasa dikenakan para pegowes jadi saya selalu beli air mineral di warung, dan kali ini saya beli juga disamping kelapa muda. Sekitar 20 menit makanan siap disajikan. Nyam-nyam-nyam, nikmat kali kuwe bakar dengan sambal aneka rupa, kecap, terasi, kacang dan mangga. Tandas! Tiba saat bayar dihitung harga per cobek sambal hingga makanan utama yang bila ditotal sekitar 100,000. Mmmm its ok lah. Lalu setelah istirahat kami berangkat pulang, eh sepeda yang kami parkir di depan warung makan kami ditagih parkir, hehehehe kata Iman “Lah? Sepeda pake bayar juga?” tidak jelas memang, lalu saya berikan 1,000 saja untuk parkir dua sepeda. Kami menggunakan jalur yang tidak jauh berbeda hanya memang jalur balik memutar dan muncul dari arah kiri Atmajaya. Di perempatan kembali saya lihat gedung yang sama Emporium dan Honey Lady dengan logo BUMAnya.. ; D .. di bagian atas gedung. Belok kiri, kami gowes ke arah Grogol, dan seperti waktu berangkat di sekitar Seasson City padat, saya sempat hampir terpeleset karena ada ojek potong tempe jalur kami. Lanjut gowes grogol, tomang, semanggi, kuningan dan masuk ke SPBU Shell di Gatot Subroto seberang gedung SME sebelum Pancoran. Beli bir bintang biru Zero Alcohol 6,500 dan air mineral 2,500 di Circle K dan langsung ngejoprak di empean toko. Jam sudah hampir tengah malam, kami berdua lanjut ngobrol sambil merencanakan trip sepedaan berikutnya. Tepat tengah malam kami berpisah di bawah tugu Dirgantara Pancoran, saya ke Selatan menuju Pasar Minggu dan Iman ke Utara arah Manggarai. Foto-foto di laman ini menggunakan Blackberry Curve yang sudah berumur 1 ½ tahun.        

Sejarah Sepeda Gunung




Sejarah sepeda gunung dan bersepeda gunung hampir sama panjang dan bervariasi seperti sepeda itu sendiri. Awalnya dikenal sebagai Klunkerz, sepeda ini telah naik off-road sejak penemuan mereka. Pada tahun 1988, Mountain Bike Hall of Fame (http://www.mtnbikehalloffame.com/page.cfm?pageid=3) didirikan di Colorado, Amerika Serikat untuk mencatat sejarah sepeda gunung dan bersepeda gunung, dan untuk mengenali individu dan kelompok yang telah memberikan kontribusi signifikan terhadap olahraga ini.

Tahun 1800
Salah satu contoh pertama dari sepeda dimodifikasi khusus untuk off-road adalah ekspedisi Buffalo Soldiers dari Missoula, Montana ke Yellowstone dan kembali pada Agustus 1896.

Pasukan Buffalo, Infantri ke-25 Ameerika Serikat tahun 1896, 
http://www.urbansimplicity.com/2012/02/buffalo-soldiers.html


Tahun 1900-1960-an
Contoh lain awal mengendarai sepeda off-road adalah ketika jalan pengendara sepeda balap yang digunakan cyclo-cross sebagai sarana menjaga kebugaran selama musim dingin. Cyclo-cross akhirnya menjadi olahraga sendiri di tahun 1940-an, dengan kejuaraan dunia pertama pada tahun 1950. The French Velo Cross Club Parisien (VCCP) terdiri dari sekitar dua puluh satu pengendara sepeda muda dari pinggiran kota Paris, yang antara tahun 1951 dan 1956 mengembangkan olahraga yang sangat mirip dengan masa kini bersepeda gunung.
The Fellowship Roughstuff didirikan pada tahun 1955 oleh pengendara sepeda off-road di Inggris. Di Oregon, salah satu anggota klub Chemeketan, D. Gwynn, membangun sepeda trail medan kasar pada tahun 1966 dan dia menamakannya "sepeda gunung" untuk tempat yang dimaksudkan penggunaan sepedanya tersebut. Ini mungkin penggunaan pertama dari nama Sepeda Gunung.
Sepeda Cleeland 670b-700c cross country cycles
http://clelandcycles.wordpress.com/history/ 

Di Inggris pada tahun 1968, Geoff Apps, pengendara sepeda motor uji coba, mulai bereksperimen dengan desain sepeda off-road. Pada 1979 ia telah mengembangkan sepeda ringan kustom dibangun yang unik cocok untuk off-road kondisi basah dan berlumpur seperti bagian selatan-timur Inggris. Sepeda dirancang sekitar 2 inch x 650b ban salju Nokian meskipun versi (29er) 700C juga diproduksi. Ini dijual di bawah merek Cycles Cleland sampai akhir tahun 1984. Sepeda berdasarkan desain Cleland ini juga dijual oleh English Cycles dan Highpath Engineering sampai awal 1990-an.

Tahun 1970-1980-an
Ada beberapa kelompok pengendara di berbagai wilayah Amerika Serikat yang dapat membuat klaim yang sah untuk memainkan bagian dalam kelahiran olahraga. Riders di Crested Butte, Colorado dan Cupertino, California bermain-main dengan sepeda off-road. Modifikasi sepeda cruiser berat, 1930 dan '40s Schwinn sepeda dipasang dengan rem yang lebih baik dan ban lemak, digunakan untuk freewheeling menuruni jalur gunung di Marin County, California pada pertengahan-ke-akhir 1970-an. Pada saat itu, tidak ada sepeda gunung. Para nenek moyang awal dari sepeda gunung modern yang berbasis di sekitar frame dari sepeda cruiser seperti yang dibuat oleh Schwinn. 
Schwinn Excelsior Klunker  http://mombat.org/MOMBAT/Bikes/Excelsior.html 

The Excelsior Schwinn adalah bingkai / frame pilihan karena geometri. Riders menggunakan ban dalam dan memodifikasi sepeda  dengan gigi dan motorcross atau gaya setang BMX, untuk menciptakan "klunkers". Istilah ini juga akan digunakan sebagai kata kerja sejak istilah "bersepeda gunung" itu belum digunakan. Pengendara akan adu cepat menuruni gunung, menyebabkan rem hub untuk membakar bagian dalam grease, membutuhkan pengendara untuk mengepak bantalan. Ini disebut "Repack Races" dan memicu inovasi pertama dalam teknologi sepeda gunung serta minat awal masyarakat. Olahraga ini berasal di California pada Marin County Gunung Tamalpais.
George Newman on Repack, 1976. Photo courtesy Charlie Kelly’s website.  http://www.singletracks.com/blog/uncategorized/happy-birthday-mountain-biking/
Tidak sampai akhir 1970-an dan awal 1980-an bahwa jalan perusahaan sepeda mulai memproduksi sepeda gunung menggunakan material berteknologi tinggi ringan. Joe Breeze biasanya dikreditkan dengan memperkenalkan tujuan-dibangunnya sepeda gunung pertama pada tahun 1978. Tom Ritchey kemudian melanjutkan untuk membuat frame untuk sebuah perusahaan bernama mountainbikes, kemitraan antara Gary Fisher, Charlie Kelly dan Tom Ritchey. Tom Ritchey, tukang las dengan keterampilan dalam membangun frame, juga membangun sepeda aslinya. Tiga perusahaan mitra akhirnya dibubarkan kemitraan mereka, dan perusahaan menjadi Fisher Mountain Bikes, sementara Tom Ritchey memulai toko bingkai sendiri. Sepeda gunung pertama pada dasarnya frame sepeda jalan (dengan tubing berat dan geometri yang berbeda) dengan bingkai yang lebih luas dan garpu untuk memungkinkan ban yang lebih luas. Setang juga berbeda dalam bahwa mereka lurus, melintang-mount stang, bukan, setang turun melengkung yang biasanya dipasang pada sepeda balap jalanan. Juga, beberapa bagian di sepeda gunung produksi awal diambil dari sepeda BMX. Kontributor lainnya adalah Otis Guy dan Keith BONTRAGER.
BMX Bike  http://en.wikipedia.org/wiki/BMX_bike

Tom Ritchey membangun teratur bingkai gunung pertama sepeda, yang diasesorikan oleh Gary Fisher dan Charlie Kelly dan dijual oleh perusahaan mereka disebut mountainbikes (kemudian berubah menjadi Fisher Mountain Bikes kemudian dibeli oleh Trek, masih dengan nama Gary Fisher, saat ini dijual sebagai s Trek "Gary Fisher Collection"). Dua yang pertama sepeda gunung massal yang berahasil dijual pada awal tahun 1980: yang Stumpjumper khusus dan Univega Alpina Pro. Pada tahun 2007 film dokumenter Klunkerz: Sebuah Film Tentang Sepeda Gunung dirilis. Film ini mendokumentasikan subjek sejarah sepeda gunung selama periode formatif di Northern California.
Pada saat itu, industri sepeda tidak terkesan dengan sepeda gunung, yang banyak dianggap sebagai sebuah trend jangka pendek. Secara khusus, produsen besar seperti Schwinn dan Fuji gagal melihat pentingnya sebuah sepeda segala medan dan ledakan datang 'olahraga petualangan'. Sebaliknya, sepeda gunung pertama yang diproduksi secara massal yang dipelopori oleh perusahaan baru seperti mountainbikes (kemudian, Fisher Gunung Bikes), Ritchey, dan Specialized. Khusus adalah sebuah perusahaan startup Amerika yang diatur untuk produksi frame sepeda gunung dari pabrik-pabrik di Jepang dan Taiwan. Pertama dipasarkan pada tahun 1981, sepeda gunung khusus yang sebagian besar diikuti bingkai geometri Tom Ritchey, tetapi menggunakan las TIG untuk bergabung dengan tabung bingkai bukan fillet-mematri, proses lebih cocok untuk produksi massal dan yang membantu untuk mengurangi tenaga kerja dan biaya produksi. Sepeda yang dikonfigurasi dengan 15 gigi menggunakan derailleur pergeseran, chainrings tiga, dan lima roda belakang.

Tahun 1990-2000-an
Sepanjang tahun 1990-an dan dekade pertama abad ke-21, bersepeda gunung menjadi pilihan olah raga. Sepeda gunung dan perlengkapan sepeda gunung yang dulunya hanya tersedia di toko-toko khusus atau melalui mail order menjadi tersedia di toko sepeda standar. Pada dekade pertengahan pertama abad ke-21, bahkan department store seperti Wal-Mart mulai menjual sepeda gunung murah dengan rem penuh suspensi dan disc. Pada dekade pertama abad ke-21, kecenderungan sepeda gunung termasuk "all mountain bike ", 29er dan singlespeed tersebut. The "all mountain bike" dicirikan oleh 4-6 inci (100-150mm), kemampuan untuk turun dan menangani kondisi yang sangat kasar dan pedal masih efisien untuk memanjat. Sepeda 29er adalah mereka menggunakan ukuran 700C rims (seperti yang dilakukan kebanyakan sepeda jalan), tetapi lebih luas dan cocok untuk ban dari dua inci (50mm) lebar atau lebih, roda diameter peningkatan mampu berguling hambatan yang lebih baik dan menawarkan patch ban kontak yang lebih besar , tetapi juga menghasilkan wheelbase lebih panjang, membuat sepeda kurang tangkas, dan dalam ruang perjalanan kurang untuk suspensi, sehingga 29er ini tidak cocok untuk pengendara kecil dan jalan berkelok-kelok kecil. Kecepatan tunggal dianggap kembali ke kesederhanaan dengan tidak ada komponen drivetrain atau shifter, namun demikian membutuhkan pengendara kuat.
2010 Orbea All Mountain Bike,
http://www.bikerumor.com/2010/03/28/first-look-2010-orbea-rallon-150mm-travel-lightweight-enduro-mountain-bike/

2010 Orbea All Mountain Bike,
http://www.bikerumor.com/2010/03/28/first-look-2010-orbea-rallon-150mm-travel-lightweight-enduro-mountain-bike/ 


2010 Orbea All Mountain Bike,
http://www.bikerumor.com/2010/03/28/first-look-2010-orbea-rallon-150mm-travel-lightweight-enduro-mountain-bike/ 

Mengikuti tren yang berkembang di 29-inch sepeda (29ers sebagaimana disebutkan di atas), ada kecenderungan lain dalam komunitas bersepeda gunung yang melibatkan ukuran ban. Salah satu yang lebih umum adalah, baru 650B agak esoterik dan eksotis (27,5 inci). Ukuran roda, berdasarkan pada ukuran roda jelas untuk tur sepeda jalan. Kecenderungan lain yang menarik di sepeda gunung adalah perlengkapan melompat kotoran atau sepeda perkotaan dengan garpu kaku. Sepeda ini biasanya menggunakan garpu perjalanan 4-5 "suspensi Produk yang dihasilkan digunakan untuk tujuan yang sama seperti sepeda asli.  Dalam dekade pertengahan pertama abad ke-21, peningkatan jumlah sepeda gunung berorientasi resort dibuka. Seringkali, mereka sama atau di kompleks yang sama sebagai resor ski, atau resort dengan rintangan seperti Taman MTB Indoor Ray taman sepeda gunung yang dioperasikan sebagai kegiatan musim panas di bukit ski biasanya, termasuk chairlifts yang disesuaikan dengan sepeda, jumlah jalan, berbagai kesulitan, dan fasilitas penyewaan sepeda.

Jumat, 21 Desember 2012

Gowes Malam Pejaten-Kota 21 Oktober 2012


Bagi saya tidak begitu sulit membagi waktu untuk gowes. Biasanya teman-teman gowes hari Minggu sementara pada pagi hari tersebut jadwal saya beribadah besama keluarga. Kalo hari biasa, bisa saja seperti yang saya lakoni 2 tahun lalu, bersepeda ke kantor, hingga tiba saat saya mengambil kuliah malam di Salemba dan rasanya capek sekali waktu itu kalau setiap sore dari kantor ke salemba lalu pulang ke rumah. Akhirnya saya tidak gowes pagi lagi. Hingga tiba saatnya beberapa bulan lalu terlintas saja pikiran kenapa tidak gowes malam? Ya juga, kan tetap olah raga sepeda juga. Saya siapkan sepeda United hijau yang saya beli di PRJ tahun 2009 dan sudah teronggok cukup lama. Karat mulai merambat di sekitar sock pada garpu depan dan kondisi semua ban kempis depan belakang. Segera saya cuci dan dandani lagi.
Salah satu yang dijajakan bukan mobilnya tapi jasa foto dengan mobil antik ini
Museum Wayang dengan arsitektur seperti bangunan pinggir kanal di Belanda

Museum Fatahillah dengan pasar kaget malam hari di halaman depan

Halaman depan Museum Fatahillah, di seberangnya entah gedung apa  yang sudah mulai runtuh

Museum Fatahillah dari sisi kanan atau Timur

Pedagang menjajakan kerak telor makanan khas Jakarta
 
Stasiun Beos di dapn dan di kiri Bank BNI
Stasiun Beos atau Stasiun Kota
 
Parkir Motor di sisi kanan Museum Fatahillah

Bangunan di seberang Museum Fatahillah, sudah mau runtuh aja masih tampak gagah..saya suka sekali

Pada suatu minggu sore saya kontak ajak teman-teman gowes malam dengan rute Pasar Minggu-Kota, tapi tidak ada bersedia ikut. Hehehe tak apalah gowes solo. Segera saya siapkan lampu depan, belakang, helm dan sarung tanga kulit dan wessssss…. 10 km dari rumah saya tiba di jembatan kuningan dan foto kali malang dengan matahari mulai condong ke Barat. Tidak lama saya lanjut lagi lurus mengambil jalan Sam Ratulangi, lalu Kebon Sirih, Gambir, Harmoni. Sengaja berputar supaya rute berangkat dan pulang berbeda dikit. Dari Harmoni jalan mulai tersendat antrian kendaraan di sekitar Gajah Mada hingga Glodok. Beberapa kali, kaki musti menjejakkan jalan supaya tidak jatuh.
Gowes mulai bebas setelah Glodok dan masuk ke kawsan kota tua. Saya tuntun sepeda masuk ke halaman museum Fatahillah sambil menyiapkan BB untuk foto-foto. Memasuki area itu disambut dengan penjaja PKL dari mulai jual barang seperti kaos, asesori dan minuman hingga jasa tato dan foto dengan mobil antik. Wah luar biasa halaman gedung bersejarah nan indah ini menjadi pasar malam. Saya kitari “pasar malam” tersebut sambil foto. Setelah berputar saya mampir di Indomaret, beli kopi hangat dan roti. Nyam-nyam makan sambil minum kopi hangat nikmat kali..roti 6,000 plus kopi hangat 6,000 lumayan lah. Lokasi Indomaret bersebelahan dengan Café Batavia. Hemm…harga boleh beda tapi kenikmatan rasa-rasanya sama saja dengan bila minum dan makan di sebelah pikir saya untuk tidak mikirkan jumlah uang yang harus saya keluarkan kalau makan dan minum di café tersebut … : (

Cafe Batavia dengan latar depan sepeda saya United
Cafe Batavia, keren penampilannya!
Setelah habiskan kopi dan roti saya lanjut keliling dan beli cincin 20,000. Saya lanjutkan gowes kembali ke depan dan kea rah kali besar, belok kanan lagi ke jalan kopi dan belok kanan lagi berputar ke arah stasiun Beos, lanjut terus Glodok, Thamrin, Sudirman, Blok M dan Kemang. Tiba kembali di rumah pukul 20.00 sehingga total perjalanan saya 3,5 jam. Tidak terlalu melelahkan tapi untuk mengencangkan otot kaki rute ini lumayan ok.     

Gowes RA-Gadog 16 Desember 2012



Iman Sulaeman, Rudy Pranoto dan Paul  S Hutauruk di sekitar RA dengan latar belakang Gn. Salak
Iman, teman gowes saya seminggu sebelumnya menghubungi vai BB mengajak gowes di Puncak. Sudah dua kali kami gowes bersama dalam kota, pertama sore hari dari Pancoran ke Pasar ikan Muara Karang dan kedua dari Tebet ke Senayan. Kali ini dia ajak saya ke Puncak bersama teman kami Rudy. Rencananya kami akan gowes di sekitar Telaga Warna (TW) Puncak. Wah, saya ok aja ke Puncak tapi dengan MTB saya yang jadul disbanding Giantnya apa bisa? Tanya saya ke dia. Tenang Ul, jalur TW ini jalur cewek artinya ngak perlu banyak mengeluarkan energy atau aktivitas fisik. Oh ya balas saya, jadi bener ye sepeda saya ok, dengan gear 6, rem depan disc dan rem belakang v brake. Ngak masalah itu, kata dia.
Kami merencanakan keberangkatan dengan membuat grup conference di BB antara Iman, Rudy dan saya. Kegiatan gowes akan dilakukan pada Minggu 16 Desember 2012. Perjalanan dari lokasi Jakarta dan Cibubur dengan kendaraan masing-masing dan bertemu di Masjid Gadog Ciawi pukul 06.00. Kebetulan rumah saya di Pasar Minggu dan Iman di Depok, supaya cepat saya dan Iman janjian  bertemu di sekitar Kober Depok. Untuk mengejar supaya tiba di Gadog pukul 06.00 Iman menyarankan bertemu pukul 04.30 sehingga saya harus berangkat pukul 04.15 dari rumah.
Pada hari H pukul 04.00 saya bersiap-siap, mulai memasang bracket, menempatkan dan mengikat sepeda di belakang Avanza hitam. Tak lupa saya bawa pula perlengkapan mandi serta baju ganti dan sandal. Baju biru dan celana jeans juga saya bawa untuk melanjutkan acara ke HUT Mapala UI ke-48 di Depok pada malam harinya. Mobil saya kemudikan dari rumah dengan cepat dan sekitar 15 menit tiba di Kober. Saya lihat belum ada Iman lalu saya kontak dia dan dia katakana masih di sekitar FKM untuk bereskan ban. Sekitar 20 menit menunggu akhirnya dia muncul juga dan segera mengikat sepedanya di belakang sepeda saya. Kami lanjut dari jalan baru Juanda, masuk tol pipa gas dan tembus masuk Jagorawi dan tiba di Masjid Gadog sekitar 05.30. Kecepatan kencaraan saya pacu rata-rata 100km/jam diiringi lagu-lagu bernada cepat dari grup band Sepultura. Rudy memberitahu posisinya masih di Cibubur pada saat saya menganri untuk membayar tol di Ciawi.
Masjid Gadog tempat titip kendaraan dan cuci
atau bersih badan, parkir satu hari  Rp5,000
   Tiba di Masjid Gadog, jalan dan lahan parkir masih becek karena belum di lapis jalan. Di lokasi parkir sudah ada bebeapa angkot biru yang parkir, rupanya angkot itulah yang akan kami gunakan salah satunya untuk membawa kami ke Rindu Alam (RA) Puncak. Kami tidak langsung menurunkan sepeda dari bracket karena tahu Rudy datang lebih lambat dan kami juga belum sarapan. Kami makan nasi uduk dan bakwan yang dijual di trotoar jalan. Saya minta pula dibuatkan kopi susu dari merek Kapal Api, karena kurang istriahat malam sebelumnya. Kalau dihitung saya hanya tidur tiga jam sebelum dibangunkan Iman pukul 03.30 melalui telepon BB jadi perlu ngopi dulu. Sembari menunggu saya sempatkan pula beli air minum dan roti sebagai teman di jalan.
Rudy, Iman dan Paul di depan warung Mang Ade,
sepeda kami gantung di depan

Setelah Rudy tiba, barulah kami turunkan sepeda, dan langsung dimasukkan ke dalam angkot oleh pengemudi angkot yang bernama kang Maman. Tiga sepeda masuk dalam angkot dengan dua sepeda dilepas ban depannya sementara sepeda saya tidak bisa dilepas. Tarif sewa angkot dari Gadog ke RA sebesar Rp90,000. Perjalanan dengan angkot sekitar 20 menit dan kami lewati RA dan tidak jauh berhenti di warung makan Mang Ade. Warung makan ini adalah meeting point atau start point para pesepeda di sekitar RA untuk tujuan masing-masing.
Setelah mengecek ban, rem dan Rudy selesai sarapan kami lanjut gowes. Rencana awal yang tadinya ke TW diubah menjadi turun downhill ke Gadog melalui jalur yang serius. Di pintu masuk kami bayar Rp5,000 per orang, langsung meluncur di atas bebatuan licin. Berhubung rem belakang sepeda saya kurang pakem terpaksa saya turun dan sambil memegangi sepeda menahan dengan dengkul agar tidak tergelincir. Bila saya rasa trek bersahabat atau nanjak saya naik dan gowes tetapi kalo saya rasa turunan dan licin ya saya turun. Kami sempat foto-foto di sekitar Puncak di bawah RA. Trek berlkutny asetelah batu, tanah dengan kubangan disana sini dilanjutkan dengan melalui sumber air. Memasuki kebon teh Gunung Mas kami terpaksa turun kembali meniti turun sepeda di trek yang curam dan licin, jalur pemetik teh. Selanjutnya trek cukup bersahabat hingga kami naiki sepeda dan turun masuk ke daerah pabrik the Gunung Mas, dan kami teruskan hingga ke pintu masuk Taman Safari Cisarua. Disini kami berpisah dengan Rudy yang harus segera kembali pulang dan memotong jalan melalui jalan raya puncak kembali ke masjid Gadog. Iman dan saya melanjutkan perjalanan melalui kawasan hutan pinus. Sebelum mencapai ke sana kami harus melalui tantangan mendaki cukup tinggi dengan sepeda. Jalur tanjakan  sudah disemen karena di sisi jalur tersebut banyak dihuni oleh penduduk sehingga tidak licin akan tetapi jarak tanjakan yang cukup jauh hingga dibagi menjadi tiga tahap yang biasa disebut tanjakan “ngehe”, atau jadi Ngehe-1, Ngehe-2 dan Ngehe-3 (ngehe diambil dari bahasa slang anak muda jadul yang padanannya bisa “mengesalkan”). Tidak salah memenag disbut demikian karena dengan gear berjumlah 9-10 pun harus turun, apalagi saya yang hanya 6 gear. Tanjakan Ngehe-1 saya lalap tanpa turun sementara Iman sudah turun menjelang ¾ jarak. Memasuki Ngehe-2 saya masih bisa di atas jok, tetapi tidak sampai ¼ tanjakan saya turun karena roda sudah tidak mau berputar…hehehe. Akhirnya kami turun, peserta gowes lain juga banyak yang turun dan dorong sepeda, mirip tukang siomay (kata Saptian) jadi gayanya disbut “nyomay” hehehe, ngak salah deh.
Tiba di puncak tanjakan Ngehe 3 kami belok kanan, saya tetap harus menunrun karena trek babak belur bekas dialiri air dan juga licin. Tidak banyak bersepada pada jalur ini hingga ke sawung 1. Dari sawung 1 kami mulai lanjut dengan mengikuti rombongan lain. Trek berbatu batu dan menurun. Sayapun berusaha menahan hentakan ban depan yang melindasi bebatuan besar. Pegal dan semutan kedua tangan ini, karena sockbreaker di bagian fork depan saya standard an didisain tidak untuk trek serius ini. Si Iman santai-santai saja, mengingat Giantnya sudah mumpuni untuk medan seperti ini. Makanya upgrade sepeda loe Ul atau beli aja yang merek lokal tapi sudah layak katanya. Iya lahsaya akui kalau sepeda saya harus di upgrade atau dijual utnuk beli baru.
Trek turunan dengan batu seukuran ini membuat pegal dan semutan tangan,
foto bertiga Rudy, Iman dan Paul lokasi sekitar RA
Rudy dan Iman diskusi sepeda dan merencakan trek berikut,
lokasi sebelum masuk kebon teh Gunung Mas
Bertiga sebelum turun ke kebon teh Gunung Mas

Foto lagi deh sebelum berpisah dengan dengan Rudy
Trek menurun licin dengan rem yang tidak pakem, berisiko terpeleset, terpaksa turun
dan menyeberang sumber air, lokasi sekitar RA
Paul S Hutauruk di sekitar Pabrik Teh Gunung Mas
Trek berlanjut terus bebatuan hingga memasuki hutan pinus kawasan cagar alam Hutan Gede Pangrango. Tidak seperti ini trek sebelumnya, trek ini lebih bersahabat dengan sedikit kubangan air sisa hujan semalam. Diawali dengan memasuki trek berkerikil kecil kami akhirnya memasuki jalan raya yang biasa saya dan keluarga lalui bila memotong jalan ke puncak melalui jalan belakang bukan dari jalan utama. Berhubung jalan aspal turunan sepi, kami kadang lepas tangan dan meregangkan badan meskipun tetap waspada akan motor dan penyebrang jalan. Terbayar sudah ngos-ngosan serta keringat tadi diatas..yiiiihhhhaaaaa. Dubrak….saya sempat terpeleset sekali karena mencoba mengemudikan sepeda dengan posisi punggung hampir hamper sejajar jalan dan siku saya posisikan pada pegangan kemudi. Hehehe untung saja tidak ada kendaraan yang kencang dari belakang dan menghantam kepala ini, karena saya jatuh ke kanan dan baret di kaki. Tidak bekgitu lama kami mampir ke rumah makan masakan sunda untuk makan siang karena jam menunjukkan pukul 12.00. Menu makan siang seperti biasa tanpa nasi, tetapi saya pesan ikan mas goreng, sayur singkong, tempe, tahu dan kentang. Saya juga minum sekitar 4 gelas air dan juice alpukat sekitar Rp20,000. Sekitar 30 menit kami berada disana untuk istirahat dan melanjutkan perjalanan ke masjid Gadog yang ternyata tidak terlalu jauh dari rumah makan tadi. Tiba di Masjid kami langsung pasang sepeda diatas bracket, bersih badan sedikit pada bagian kaki dan tangan, serta ganti kaos dan celana. Mengesalkan tapi ingin mengulanginya…hahahaha