Senin, 21 Januari 2013

Tur Mulak Tu Huta / Perjalanan Pulang Kampung, 23 - 29 Desember 2012 (Hari Ketiga dan Keempat)

 

Gereja HKBP Lumban Soit di Sipoholon, gereja tempat Ompung Doli berkarya di ladang Tuhan, aku menghirup udara  yang sama dihirup Ompung Doli dan Papi, Gereja mungil yang bersahaja
Hari ketiga hari Selasa, tepat pada hari Natal kami berangkat ke Gereja HKBP Lumban Soit Sipoholon menggunakan angkot melalui kota Tarutung karena truk tidak bisa lewat karena jalan sempit. Kami tiba sekitar pukul 10.00 atau sekitar setengah jam sebelum kebaktian dimulai.

Tampak samping Gereja HKBP Lumban Soit, sempat jadi latar belakang foto Ompung Doli bersama rekannya pada tahun 1950-an.

Ompung Guru Kladius sebagai salah satu Penetua atau Parhalado atau Forhanger (maaf kalau salah eja) duduk paling kiri. Perhatikan gereja HKBP Lumban Soit yang menjadi latar belakang. Perhatikan pula topi di samping kaki bangku yang diduduki Ompung Doli. Stylish sekali si Ompung Doli ini dengan postur yang ramping, keren n salut untuk Ompung Doli.

Pendeta menggunakan toga hitam bersama penetua atau parhalado (pembina jemaat) menggunakan toga putih berdiri di depan podium.
Kertas Liturgi yang berisi urut-urutan ibadah, tidak menyangka gereja sekecil inipun menggunakan tata ibadah yang tercetak, hebat sekali dan salut.
Bangunan gereja ini tidak seasli gereja pusat HKBP Pearaja semalam, tetapi gereja ini dibangun sekitar tahun 1900 an, dan kalau menurut abang saya yang pernah tinggal di Sipoholon gereja dibangun sekitar tahun 1950. Saya pernah lihat gereja ini menjadi latar belakang salah satu foto ompung Guru Klaudius Hutauruk bersama bebeapa pengurus gereja atau Penetua, bertanda tahun 1958. Dilihat dari foto ompung tersebut sepertinya gereja ini menggunakan dinding kayu pada awalnya. Lokasi gereja ini di pada dataran lebih tinggi dari jalan kampung, dan bila dari jembatan aek Sigeaon sekitar 200meter di sebelah kanan. Ada dua bangunan di lokasi ini termasuk gereja dan satu bangunan lagi sekolah. Diantara kedua bangunan ini ada lapangan, dan kendaraan angkot kami dapat bermanuver bebas dan parkir menunggu hingga kami selesai. Bila dibandingkan dengan gereja HKBP Jalan Jambu gereja ini terbilang sederhana tetapi bersahaja dengan organ dan song leader mengiringi setiap lagu. Peserta ibadah cukup banyak, dan ada beberapa paduan suara termasuk koor (paduan suara) remaja, naposo (anak muda), ina (kaum ibu), ama (kaum bapak), dan sintua (penetua suami istri) di podium. Seperti di gereja Pearaja, pendeta menggunakan toga hitam sementara penetua menggunakan toga putih, hal mana bila di Jakarta hanya pendetat yang menggunakan toga hitam sementara penetua tidak menggunakan toga. Setelah kebaktian diadakan acara sambutan pada kami, dan kami diwakili Angkang Rusli menyampaikan kata sambutan dilanjutkan dengan penyerahan dana bantuan oleh rombongan kami untuk berbagai bidang / seksi gereja disana. Saya menyampaikan bantuan dari orang tua seperti yang diamanatkan mereka (mami dan papi sewaktu masih hidup tahun 2011 lalu) untuk menyerhakan bantuan untuk sekolah minggu. Setelah acara sambutan tersebut kamipun berangkat ke hutabagasan untuk mengadakan acara syukuran dengan mengundang makan siang saudara-saudara se ompung Manhara Hutauruk (generasi Hutauruk kedelapan) yang memiliki empat orang anak dan kami adalah keturunan dari anak pertama (si angkangan).
Berpose di depan rumah Ompung di Hutabagasan Lumbansoit. Ompung boru Tobing dikenal sebagai orang yang rajin bercocok tanam dan sehingga lokasi ini disebut pula porlak (ladang) sehingga disebut par porlak (orang ladang). Bangunan sisi kiri pada awalnya berlantai kayu sementara bangunan utama sudah disemen dari dulu.  
Berpose di tangga depan rumah. 
Meja dan kursi di ruang depan, perhatikan kursi betawi (batavia) di sebelah kanan yang diduduki ompung doli sewaktu berfoto sekeluarga dengan ibu boru Parapat, istri boru Tobing (ompung boru),  dan anak-anaknya laki-laki semua (papi dan amangtua). Ada beberpa foto ompung tergantung disana, dan foto sewaktu ompung doli meninggal yang sebagian sisinya rusak sehingga muka papi dan beberapa amangtua tidak nampak lagi. 

Foto dalam pigura yang kami siapkan dari Jakarta untuk dipasang di rumah Ompung, salah satunya foto paling atas , foto prewedding papi dan mami sekitar 1956, hahahaha gaya bener ya. 
Dua foto yang kami bawa pula dari Jakarta, paling atas foto papi bersama  amangtua berpasang-pasangan, pada saat berkumpul di rumah amangtua di jalan gresik menteng saat syukuran memberangkatkan Angkang Indra ke Jerman untuk melanjutkan sekolah, aku perkirakan sekitar tahun 1978 foto ini. Lalu foto sebelah bawah kiri adalah foto keluarga besar Lodewijk Hutauruk beserta turunannya diambil sekitar tahun 2008

Foto dibawah adalah foto Ompung Doli sekeluarga  bersama Inangtua boru Parapat, papi  berdiri  di sisi kanan Ompung Doli. Jumlah anak dalam foto 6 orang, smentara yang berdiri diapit Ompung boru Tobing dengan Inangtua boru Parapat salah satu kerabat dekat. Satu orang amangtua nomor tiga (menurut urutan lahir) tidak ada karena pergi merantau dan meninggal di sekitar Jambi dan belum sempat menikah. Aku pernah melihat foto sekitar tahun 1980 an ketika amangtua JP mencari dan menggali tanah yang dianggap makam amangtua ku nomor tiga tersebut.
Ini foto Papi yang kuletakkan di meja pojok ruang depan. Foto yang sama dengan ukuran besar ada di rumah kami di Jakarta, foto yang sempat dilihat dan disukai oleh papi sekitar 2 minggu menjelang wafat. Foto ini dibuat oleh hela ni amang, Lae Tigor Siahaan, suami dari ito Vera Hutauruk
Tujuan awal dari gereja sebelum ke lokasi acara, mengunjungi rumah Ompung Guru Klaudius di porlak hutabagasan. Rumah ompung berdinding papan dan beratap seng. Kondisinya agak kurang terawat dimana beberapa bagian kayu papa nada yang keropos dan seng atap koyak. Warna dasar dinding rumah putih dengan warna hijau muda pada garis sudut rumah sepanjang sisinya. Kami menaiki beberapa anak tangga dan masuk ke ruang depan atau tamu dan ada kamar disamping kanan. Bangku dibagian depan seperti satu set bangku rotan (4 buah dengan 1 meja bundar) serta ada satu bangku seperti bangku khas Betawi yang diduduki Ompung Doli (kakek) seperti kulihat pada foto keluarga ayah sewaktu ayah saya berumur sekitar 9 tahun atau tahun 1939. Di kamar depan samping tersebut saya lihat organ atau poti musik yang menurut ayah saya, dulu dimainkan oleh ompung doli. Pada dinding kulihat ada beberapa foto ompung doli bersama rekan penetua serta foto sewaktu ompung doli meninggal. Sayang foto tersebut rusak pada sebagian sisinya dimana setahu saya bergambar wajah ayah bersama abangnya di sisi kiri peti jenazah pada waktu jenazah ompung disemayamkan yang menurut perkiraan saya di halaman depan rumah ompung. Ada juga kulihat foto ompung inangtua boru Parapat ibu dari ompung doli. Masuk ke ruang dalam, terdapat satu buah kamar disamping, tetapi kamr tersebut terkunci. Ada pintu keluar yang sejajar dengan pintu depan, dan satu pintu ke ruang dapur di sisi kiri. Kami masuk ke ruang dapur dan tempat makan yang dulunya berlantai kayu dan sekarang disemen. Ruangan ini cukup luas dengan panjang selebar ruang tengah dan lebar sekitar 4 meter, dengan satu meja makan besar dengan dua bangku panjang, cukup menampung seluruh anggota keluarga saat ini dua orang tua dengan tujuh orang anak laki-laki. Ada beberapa ruangan sekiling ruang makan ini termasuk dapur, gudang, dan kamar kecil atau kamar mandi. Saat ini ruang makan tersebut menjadi tempat huni keluarga yang ditugaskan menjaga rumah ompung ini.   

Ruang tengah dengan pintu sejajar dengan pintu depan.
Ruang Tengah difoto dari bangunan sisi kiri
Bangunan sisi kiri yang dulunya berlantai kayu. Disni ada beberapa ruang seperti gudang, kamar mandi, dan dapur. Ruangan ini digunakan oleh penjaga yang ditugasi menjaga rumah ompung. 
Sekitar 45 menit kami di rumah ompung, lalu kami berangkat kembali ke lokasi acara di depan rumah Ompung Pendeta Melanthon yang saat ini dihuni oleh Ompung Boru Manalu, ibu dari Amanguda Sakti Hutauruk. Tenda sudah didirikan, dan bangku plastic dijajarkan. Berhubung waktu sudah lewat dari jam makan siang umumnya maka diusulkan untuk makan siang terlebih dahulu barulah dilanjutkan dengan acara syukuran. Makanan dirames di atas piring dengan menu nasi segunung, sangsang, panggang, sayur sawi dan ikan teri, nikmat sekali membayangkannya, dan menurut saya itu menu yang paling enak selama perjalanan ini. Piring diedarkan satu per satu hingga semua undangan telah mendapat jatah. Setelah dipastikan semua dapat jatah, maka selanjutnya berdoa makan bersama.

Membagikan makanan dalam piring secara estafet oleh boru Hutauruk, dibagikan ke seluruh orang yang datang, dan baru setelah semua mendapat jatah dilakukan doa bersama
Pembagian hadiah untuk anak-anak usia sekolah
Mandok Hatta dari Angkang Lambok Hutauruk
Mandok Hatta  dari Lae serta Amangboru 
Mangampu dimuali dari kami yang paling kecil hingga Angkang Indra yang  paling besar (siangkangan)
Angkang Leonidas Hutauruk (anak amangtua JP) yang berdomisili di Tarutung, tertawa karena digoda para tamu, berdiri mangapu bersama Angkang Indra Hutauruk
Mangapu Ombung Boru Manalu (istri Ompung Pendeta), Inganuda Sakti dan Amanguda Sakti Hutauruk
Dua orang boru Hutauruk, boru kepala kampung, yang masih kuliah di Medan, yang sebelah kiri kuliah di Jurusan Pertanian sebelah kanan kuliah di Jurusan Akunting, bernyanyi untuk menghibur sekaligus menyerahkan proposal
Setelah makan barulah masuk acara syukuran yang dipimpin pendeta serta pemain organ dari gereja tadi. Acara berlanjut setelah kotbah, dengan pemberian hadiah-hadiah yang sudah kami siapkan sebelum berangkat. Hadiah untuk anak-anak usia sekolah SD hingga remaja. Seperti biasa di pertemuan adat orang batak, maka kami memberikan kesempatan perwakilan saudara-saudara yang datan sesuai urutannya untuk menyampaikan pesan atau mandok hata. Urutan yang dimaksud disesuaikan dengan seberapa jauh mana peserta yang diundang (berapa generasi). Untuk acara kali ini kami mengundang dari keturunan dari Raja Manahara yang memiliki empat anak, dan kami dari keturunan anak pertama maka yang pertama mandok hata perwakilan dari anak keempat dilanjutkan anak ketiga dan kedua. Selanjutnya mandok hata dari keturunan anak pertama Ompu Salisi Hutauruk, dimana kami merupakan keuturan anak ke lima St. Josaphat dari enam bersaudara. Maka urutan berikut mandok hata dari keturunan keenam dilanjutkan keempat hingga pertama. Sebelumnya dari kelompok boru turunan Ompu Salisi gabungan dari boru turunan terkahir hingga pertama menyampaikan mandok hata. Setelah itu giliran tuan rumah, Ompung boru Manalu mandok hata. Tibalah giliran kami kelompok perantau untuk manyampaikan atau menjawab pesan (mangapu).
Cuaca kurang mendukung karena hujan sejak awal hingga acara berakhir. Kamipun bergegas berjalan kaki menuju jembatan tempat bus kami menunggu. Hujan tetap mengiringi perjalanan kami ke Boli-boli Café di Sipoholon untuk mandi air panas atau makan malam. Mengingat hari libur sehingga banyak sekali pengunjung di pemandian air panas sehingga sebagian dari kami mengurungkan niat mandi dan hanya makan malam saja. Dari sini kami kembali ke penginapan di Hotel Hineni Tarutung.

Patok kilometer di dekat Hotel Hineni menunjukkan jarak antar kota dari titik patok ini, ke Sibolga (SBG) 68 km, ke Tarutung (TRT) 2 km, dan ke Sipirok (SPK) 72 km.
Turun dari parkir berfoto sebentar, di latar belakang toko tempat menjajakan cindera mata khas batak dan Salib kasih
Berpose di depan pintu masuk Salib Kasih dari kiri Dharma Hutauruk, Maratur boru Hutauruk, Rusli Hutauruk, Priscilla Rosemarie boru Hutauruk, Rita Kartini boru Tobing dan Josaphat Hutauruk 

Jalan cone block dengan pohon yang terawat
Berpose di jalan menurun atau mendaki
Pohon yang menjulang tinggi dalam perjalanan ke Salib Kasih
Hari keempat hari Rabu tanggal 26 Desember pagi setelah sarapan kami berangkat ke Salib Kasih. Kami berganti kendaraan dari bus ke angkot di pertigaan yang menuju ke arah Salib Kasih. Perjalanan sekitar setengah jam hingga tiba di lokasi. Salib Kasih berlokasi di Atas Barita yang dianggap lokasi bersejarah dimana Ompu Nomensen sebagai misi penyebar agama Kristen Protestan di Silindung, pertama kali menatap lembah Silindung dan menetapkannya sebagai ladang pemberitaan sewaktu beliau melihat dari lokasi ini. Memasuki lokasi ini berjejer penjaja cendera mata bertema khas batak dan khususnya Salib Kasih. Kami sempat berfoto di depan tugu Ompu Nomensen. Kami lanjutkan perjalanan dengan mendaki melalui jalan cone block. Pada jalur ini ada sejumlah tempat istirahat dengan papan berisi Perintah Allah yang berurutan dari pertama di bawah hingga kesepuluh di puncaknya atau area Salib Kasih. Di area ini ada bangku untuk ibadah dengan podium menghadap rura silindung dan Salib Kasih menjulang tinggi di belakang area ibadah yang dibuat terbuka. Kami memilih untuk beribadah sendiri dengan mengambil lokasi di rumah doa yang ada di belakang tempat ibadah terbuka tersebut. Setelah beribadah bersama, kami dipersilakan oleh Ny. Indra Hutauruk boru Tobing untuk melakukan ibadah keluarga per keluarga selama lebih kurang 15 menit.

Di lokasi yang diyakini tempat Ompu Nomensen (dari zending Jerman) melihat Ladang Tuhan di Rura Silindung , sekitar tahun 1860 an dalam perjalanannya dari Sibolga.
Salib Kecil di area Salib Kasih di atas batu yang diyakini sebagai  pijakan Ompu Nomensen
Cerita singkat mengaenai pelayanan Ompu Nomensen
Salib Kasih dilatar belakang, undakan tempat duduk untuk ibadah di udara terbuka
Bangku semen untuk ibadah berikut podium semen, dibuat mengikuti kontur  atau sengaja seperti  teater
Ny. Indra Hutauruk boru Tobing memimpin ibadah bersama sebelum  ibadah masing-masing keluarga dalam rumah -rumah doa (sisi kiri) berukuran 3x3 meter
Setelah itu kami pulang kembali ke hotel untuk berkemas dilanjutkan makan siang di Lapo Sona karena siang ini kami akan check out dan berangkat ke Balige dengan tujuan Hotel Ompu Herti. Kami sempatkan mampir ke Pasar Tarutung. Kaum ibu melihat-lihat ulos sementara saya langsung mencari lokasi warung yang menjual kue talam. Saya mampir di warung kue Talam Tobing dan memesan kue talam dengan kopi panas, nikmat sekali. Setelah itu saya bergabung dengan Angkang Dharma yang sedang di warung kue talam Sihombing. Ibu-ibu pun berkumpul disini karena lokasinya dekat pintu masuk, atau di sebelah kanan pintu masuk, sementara lokasi warung Tobing dari warung ini jalan menyebeang selokan ke arah utara. Gerimis mengikuti kami dalam perjalanan ke Balige, kami berhenti sebentar di tengah perjalanan untuk membeli kacang sihoubuk. Kami lanjutkan perjalanan lagi dengan tujuan ke Huta Ginjang untuk melihat pemandangan Danau Toba dari ketinggian. Kami makan kacang kulit, krupuk dan minum cendol hangat. Angkang Boru Napitupulu teringat makanan kesukaannya krupuk waktu remaja dulu. Angin sepoi-sepoi menemani cengkrama kami di sana, hemm ingin mengulangnya kembali. Sekitar 45 menit di Huta Ginjang kami lanjutkan perjalanan ke Balige.
Tarutung yang berarti Durian ada dimana-mana, mau pesta durian datangalah di penghujung tahun , nikmat sekali. Foto diambil di depan Pasar Tarutung dekat kantor pajak
Kaum ibu mencari ulos
Memilih ulos yang terbaik
Priscilla Rosemarie boru Hutauruk berpose dengan latar pintu masuk  Pasar Tarutung 
Paul S Hutauruk berpose sebagai penjaja kue talam di warung Sihombing Pasar Tarutung
Kue talam, kue lapi di warung Tobing Pasar Tarutung
Pesanan saya, Kue Talam dengan Kopi Hitam panas. Super Nikmat! 

Yang tidak pernah akan ada di Tanah Jawa, penjual daging babi kaki lima, ini kufoto sewaktu  kami ganti angkutan dari bus ke angkot dalam perjalanan ke Salib Kasih
Tiba di Balige kami langsung makan malam di Wita cafĂ© di pinggir Danau Toba. Angin kencang memaksa kami berpindah dari bagian teras ke tengah cafĂ©. Setelah makan kami check in di Hotel Ompu Herti milik TB. Silalahi. Hotel ini kurang terawat, beberapa sudutan rokok ada di tirai, slot kunci pintu kamar mandi dan pintu kamar pun hilang. Pisau lipat yang saya gunakan untuk dijadikan slot kunci pengaman pintu kamar pun tertinggal sewaktu kami packing untuk melajutkan perjalanan ke Parapat. 

Pemandangan danau Toba dari  Huta Ginjang
Sendor Hangat atau Cendol Hangat di Huta Ginjang karena di Pasar Tarutung tidak ada yang jual
Kerupuk kesukaan Angkang Boru Napitupulu
kacang Sihobuk
Dari kiri ke kanan, Ny. Dharma Hutauruk boru Tobing, Ny. Indra Hutauruk boru Tobing, Ny. Rusli Hutauruk boru Napitupulu sedang bernostalgia dengan krupuk, dan Rita Kartini boru Tobing di Huta Ginjang
Huta Ginjang dari warung kopi paling atas
Huta Ginjang 1550 mdpl
Gereja di sekitar Huta Ginjang
Tanaman yang umum di Sumatera Utara, kopi
Berpose di depan Wita Cafe dari kiri Rita Kartini boru Tobing, Ny. Dharma Hutauruk boru Tobing, dan  Ny. Tiur Gultom boru Hutauruk
        

Rabu, 09 Januari 2013

Tur Mulak Tu Huta / Perjalanan Pulang Kampung, 23 - 29 Desember 2012 (Hari Pertama dan Kedua)


Kami merencanakan mengisi libur Natal dengan pulang kampung ke Tarutung Sumatera Utara. Ini perjalanan saya yang keempat selama hidup saya. Tidak seperti saudara kita dari suku lain khususnya Jawa yang selalu pulang kampung pada saat hari raya idul Fitri. Kebetulan di keluarga saya dari sejak orangtua sayapun tidak pernah pulang kampung pada libur Natal dan memang jarang pulang kampung atau singkat kata pulang kampung bukan hal yang terdahulu. Itupun mempengaruhi kami anak-anaknya menjadikan acara pulang kampung bukanlah hal yang harus dilakukan dengan rutin.
Pada beberapa kali libur sekolah anak-anak kadang kami bersaudara sepupu pergi berlibur bersama atau sekadar jalan-jalan mengunjungi obyek wisata. Darisana timbul ide, mengapa tidak pulang kampung bersama saudara sepupuan. Akhirnya selama setahun terakhir kami coba ajak saudara-saudara sepupu dari satu turunan ompung kami Sintua (St) Josaphat Hutauruk, nama kakek ayah kami. Panitia dibentuk untuk melakukan persiapan dari pemesanan kendaraan, penginapan, menyiapkan acara di huta (kampung), obyek wisata yang akan dikunjungi hingga restoran. Acarapun dilaksanakan dari Minggu 23 Desember hingga Sabtu 29 Desember 2012. Akhirnya peserta yang terkumpul sebanyak 6 keluarga sementara satu keluarga akan bertemu pada acara tertentu disana.

PesertaPomparan St. Josaphat Hutauruk Generasi Nomor A13 dari kiri kanan  Indra Hutauruk, Rusli Hutauruk, Dharma Hutauruk, John Dolok Hutauruk, Paul S Hutauruk dan Rinto Hutauruk. Lokasi di Lobby Hotel JW Marriot Medan.
Seluruh Peserta Tur Hutauruk Dohot Boru Generasi 13 dan 14 dari kiri ke kanan  Partogi Israel Hutauruk, Dharma Hutauruk, Ny. Dharma boru Tobing, Ny. Rusli boru Napitupulu, Rusli Hutauruk, Maratur boru Hutauruk, Jane Elizabeth boru Hutauruk, john Dolok Hutauruk, Ny. John D Hutauruk (Maria) boru Siahaan, Josaphat Hutauruk, Paul S Hutauruk, Ny. Paul S Hutauruk (Rita) boru Tobing, Priscilla Rosemarie boru Hutauruk, Ny. Indra Hutauruk boru Tobing, Gabriela boru Gultom, Tiur boru Hutauruk, Indra Hutauruk, dan Rinto Hutauruk (Rinto mengantar saja di Medan) 
Keluarga kami berangkat dr Jakarta menggunakan pesawat Citilink pukul 06.00 dan tiba pukul 08.00. Dari bandara Polonia Medan kami naik taxi ke Hotel JW Marriot sebagai titik kumpul peserta. Begitu tiba di lobby hotel sudah berkumpul saudara sepupuan hingga kami semua berjumlah total 17 orang, 15 org dewasa dan dua anak kecil. Setelah bersalam-salaman kamipun berkemas dan berdoa sebelum naik ke dalam bus 3/4 seukuran metro mini yg akan mengantar kami ke Tarutung. Pukul 10.30 kami berangkat ke Tarutung melalui Deli Serdang dan berhenti utk makan siang di Pematang Siantar di restoran masakan Cina bernama Jumbo. Selanjutnya kami melanjutkan perjalanan menuju Parapat. Pemandangan sekitat Pematang Siantar didominasi kebon kelapa sawit.
Danau Toba dari Parapat
Di depan warung kopi bernama Cafe Lalupa
Salah satu sudut Dana Toba dari warung kopi  di Parapat
           Danau Toba mulai terlihat sejalan dengan kendaraan kami mendekati Parapat. Kami semua mengagumi pemandangan ini. Luar biasa. Untuk lebih memuskan diri kamipun berhenti dan minum kopi di salah satu kedai kopi yg menghadaap ke Danau Toba. Angin sepoi-sepoi ditemani kopi panas sungguh nikmat sambil memandang ke arah danau. Sekitar 30 menit kami istirahat lalu perjalanan dilanjutkan. Pemandangan selanjutnya adalah hutan, tugu ompung marga, sawah dan kebon durian. Beberapa kali Jalan agak tersendat kaarena tanah longsor sehingga satu jalur diantri untuk kedua arah.
Narsis di depan Danau Toba hehehe

Hari sudah larut malam ketika kami tiba di Tarutung dan makan malam di Restoran Sukaria Tarutung sekitar pukul 21.30, dimana sebetulnya restoran tersebut sudah tutup tetapi karena kami sudah pastikan akan datang, maka merekapun menunggu. Resto ini juga menyuguhkan makanan masakan Cina. Saya dan Togi sempat berputar untu mencari televisi di restoran atau warung sekitar yang memutar siaran langsung pertandingan Barclay Premier League antara Manchester United tandang melawan tuan rumah Swansea City, tetapi sayang tidak ada yang memutarnya atau memang tidak disiarkan secara langsung. Setelah makan kami berangkat menuju Hotel Hineni, milik Bernis Hutauruk dgn boru Hutabarat yang berlokasi sekitar 1 km dari pusat kota atau sungai Aek Sigeaon.
Berfoto sebelum menyeberang Sungai Aek Sigeaon, pinggir jalan lintas  Tarutung  Sibolga Sipirok, patokan ke huta kami ada plang gereja HKBP Lumban Soit Sipoholon, ke arah belakang (Timur atau hulu) dan ke depan (Barat atau Kota Tarutung lebih kurang 2 km)
Berfoto di depan papan nama Gereja HKBP Lumban Soit Sipoholon
Berfoto diatas jembatan kayu di atas Sungai Aek Sigeaon selebar lebih kurang 50 meter, di latar belakang adalah pintu masuk huta kami 
Aek Sigeaon yang tenang menghanyutkan 
Keesokan harinya kami ke berangkat ke Hutabagasan Sipoholon untuk melihat persiapan lokasi acara memberi makan siang penduduk kampung pada esok hari. Bus diparkir dipinggir jalan di depan rumah amangtua JP dan kami menyeberang jalan, naik tangga untuk menyeberangi sungai Aek Sigeaon yang memiliki lebar lebih kurang 50 meter. Jembatan dengan lebar sekitar 1.5 meter, dengan landasan kayu papan pada beberapa titik sudah miring ke arah hilir dan berlubang karena papan kayu lepas. Jembatan ini salah satu akses menuju kampung kami miring akibat pondasi terhantam batang pohon yang terbawa arus sungai beberapa waktu lalu, sementara jembatan yang menuju seminari terletak lebih ke barat sudah roboh dan tidak bisa dilalui. Sebenarnya ada akses dengan kendaraan roda empat menuju kampung kami lewat darat atau lewat kota, tetapi karena ada beberpa acara keluarga sehingga bus kami tidak bisa masuk.

Ito boru Sinambela, Rita Kartini boru Tobing, Priscilla Rosemarie boru Hutauruk dan Dharma Hutauruk  dalam perjalanan antara kampung dan jembatan
Rumah tua dalam sebelah kiri arah kampung dari jembatan
Makam Ompu Salisi yang dahulu berupa Pohon Beringin
Salah satu bunga-buangaan di makam dekat jalan ke huta
Gereja Katolik pertama di Tarutung di kampung kami
Tiba di seberang, jalan berbatu tidak beraspal. Sekitar limapuluh meter dari jembatan kami melihat sebentar makam yang diakui sebagai makam Ompung Salisi Hutauruk, generasi ke-9 yang sewaktu saya berkunjung pada 2003 masih dalam bentuk pohon beringin dan sekarang pohon tersebut sudah ditebang. Kami lanjutkan perjalanan dan mellewati Gereja Katolik yang dianggap pertama di Tarutung, dan beberapa saudara kami turunan dari ompung generasi 10, abang dari ompung kami St. Josaphat, beragama Katolik. Abang Leonidas anak amangtua JP yang bertemu kami di jembatan Aek Sigeaon bersama Ito boru Sinambela keturunan dari saudara perempuan satu satunya kakek saya atau Namboru ayah saya menjadi penujuk jalan kami. Selanjutnya kami berjalan terus ke huta bagasan, disitu kami bertemu Amanguda Sakti Hutauruk generasi 12 seangkatan ayah saya dari turunan kakek kami nomor tiga Pendeta Melanthon Hutauruk sementara ompung kami Guru Kladius Hutauruk adalah anak pertama.
Melipir ke semak karena jalan menuju ke pemakaman ompung  berlobang dan tergenang air
Berfoto di depan makam ompung Guru Kladius Hutauruk dan St. Josaphat, kompleks makam cukup padat
Makam Amangtua JP dan Inangtua boru Tobing dikunjungi keturunannya berdiri dari kiri kanan belakang  Rusli Hutauruk  (anak lelaki pertama), Dharma Hutauruk (anak lelaki kelima), Israel Partogi Huturuk (cucu dari Dharma Hutauruk), Ny. Dharma Hutauruk, Ny. Rusli Hutauruk, Leonidas Hutauruk (anak lelaki ketiga) dan duduk di depan Maratur boru Hutauruk (anak perempuan Rusli Hutauruk)
Setelah memastikan undangan, tenda, makanan telah siap utk besok, selanjutnya kemi menuju makam nenek moyang kami yg berada di bukit belakang kampung kami, dgn berjalan kaki sekita 20menit. Jalan masih dari tanah yang berlobang-lobang dengan genangan air akibat hujan malam sebelumnya membuat kami harus melipir ke semak-semak. Jalan naik mendekati makam licin karena disemen rata dan berlumut. Beberapa kali sepatu slip karena selain licin akibat hujan juga karena berlumut. Tiba di makam segera kami membersihkan makam kakek nenek kami, Guru Kladius Hutauruk (generasi 11) dan Wilhelmina boru Tobing lalu makam kakek nenek ayah saya Josaphat Hutauruk (generasi 10) dgn Maria boru Parapat. Selanjutnya sebagian dari sepupu membersihkan makam amangtua dan inangtua JP orangtua mereka. Setelah itu kami berdoa dipimpin oleh Abang Indra Hutauruk, mencuci muka dan dilanjutkan dgn foto bersama.
Lapo Bintatar di Pearaja Taurutung, perhatikan aksara batak dengan teks yang dihias, anak pemiliknya seniman  seni lukis
Menu standar lapo panggang (sudah hampir habis), ikan mas arsik, sup, sangsang, dan susu horbo (kerbau) berwarna kuning di piring nasi
Paduan suara boru-boru Tobing di Sumur menyanyikan dua lagu gerejawi
Foto bersama di depan rumah salah satu lae saya, bersama lae, inangbao, boru dan maen di Sumur Tarutung
Tidak lama disana kamipun pulang dan makan siang di Lapo (warung makan) Bintatar yang seperti lapo lainnya menyuguhkan masakan khas Batak yang umumnya terdiri dari Sangsang, Panggang, Arsik,Susu Horbo dan tuak.Setelah makan siang kamipun bergegas mengunjungi saudara masing-masing dari pihak Tulang atau Hula-hula (ipar) atau Bona Tulang (ipar kakek). Kami berkunjung ke Hula-hula dan Bona Tulang kami, keluarga Lumban Tobing Ompu Rajaingan di Sumur Tarutung. Disana kami bertemu dengan saudara-saudara keturunan saudara laki-laki nenek saya dari ayah. Meskipun kami jarang bertemu, dari semua yang kami jumpai saat itu sebagian besar pernah kami jumpai sekali dua kali, tetapi karena hubungan batin atas darah yang mengalir pada diri kami menjadikan kami merasa dekat sekali. Mereka ramah sekali menerima kami. Tak lupa kami membagikan beberapa helai pakaian batik sebagai oleh-oleh untuk para bapak dan tas untuk para ibu segenerasi saya dan ipar saya. Sebelum pulang kami dinyanyikan lagu gereja oleh anak-anak yang umumnya perempuan dan membagikan hadiah uang sekedarnya, juga untuk dua orang ipar saya yang sedang sakit. Setelah dari Sumur kami menjemput beberapa saudara yang mengunjungi tulang dan hula-hula mereka di Huta Baginda. Selanjutnya kami kembali ke hotel untuk istirahat dan mempersiapkan menghadiri malam Natal di Gereja Pusat HKBP Pearaja Tarutung pukul 19.00.
Gereja HKBP Pusat di Pearaja didirikan tahun 1864 oleh misi penyebar agama Kristen Protestan di Rura Silindung Tarutung Ompu Nomensen seorang warga negara Jerman 
Bagian dalam Gereja HKBP Pusat Pearaja dari pintu utama, gereja dengan lay out T dengan balkon kayu di setiap sudut/sisinya, kami duduk disamping kiri dibawah balkon
Bagian dalam gereja dari podium ke arah pintu utama 
Berfoto dekat mimbar setelah ibadah Malam Natal dan Perjamuan Kudus
Berfoto di depan Pohon Natal
Kami tiba di gereja lebih kurang setengah jam sebelum dimulai, dan kami menempati posisi di sisi kiri mengahadap podium. Pendeta yang membawakan firman adalah pendeta Kardi Simanjuntak, preses HKBP, yang pernah menjadi pendeta resort di HKBP Jalan Jambu Menteng Jakarta Pusat. Acara berlangsung hikmat meski tanpa nyalakan lilin malam kudus seperti yang umum dilakukan. Setelah ibadah Natal masih dalam rangkaian acara kamipun yang sudah akil balik dan menerima sidi bersiap menerima roti dan anggur perjamuan kudus dengan maju ke podium. Sehingga dua kali kami maju ke depan yang pertama untuk menyerahkan kolekte dan kedua untuk menerima perjamuan kudus. Acara kebaktian selesai sekitar pukul 21.00, kamipun menyempatkan diri berfoto di depan pohon Natal dan setelah itu kami berangkat untuk makan malam di Restoran Sukaria. Setelah makan kamipun pulang kembali ke Hotel Nineni, itulah cerit perjalanan kami hari pertama dan kedua.

Selasa, 08 Januari 2013

Ziarah Makam Anggota Mapala UI - TPU Tanah Kusir 12 Desember 2012


Menjelang ulang tahun Mapala UI yang ke-48 diadakan acara pra ulang tahun seperti melaksanakan kunjungan ke makam anggota Mapala UI. Rencana kunjungan direncanakan oleh Badan Pengurus (BP) Mapala UI ke TPU Tanah Kusir dan Fatmawati di Jakarta Selatan pada Rabu, 12 Desember 2012. Sayapun mencoba menyisihkan waktu kerja untuk berziarah dengan memilih ke TPU Tanah Kusir. Rencana kita akan berkumpul di warung dekat tempat parkir dan saya tiba pukul 13.30 lebih setengah jam dari jam yang ditentukan BP, tetapi waktu tiba disana belum ada anak BP. Lebih kurang pukul 14.00 kamipun berkumpul Mbak Nessy, Izma sang ketua beserta tiga pengurus BP, Anset dan saya, turut serta juga dua orang penggiat pecinta alam seangkatan mbak Nessy.
Kunjungan pertama kami ke makam Norman Edwin yang meninggal di Gunung Aconcagua perbatasan Argentina Cili pada April 1992 pada usia 37 tahun. Makam ini berlokasi antara tempat parkir dengan kantor administrasi, yang bila menghadap kantor tersebut posisinya di sebelah kiri. Makamnya cukup terawat paling sedikit menurut pengakuan tukang urus makam, tak lupa doa secara Islam dilafalkan oleh dua orang petugas masjid setempat yang diminta datangkan oleh mbak Nessy.
Makam Norman Edwin
Makam kedua yang kami kunjungi sebelah Timur Laut makam Norman Edwin dengan jarak lebih kurang 50 meter milik Hartono Basuki Wibowo yang meninggal di Cartensz Pyramid Pegunungan Jayawijaya pada 21 April 1981 pada usia 22 tahun 10 bulan. Petugas masjid yang sama juga melafalkan doa yang sama di atas makam yang terlihat kurang terawat.  
Makam Hartono Basuki Wibowo
Tujuan kami berikutnya adalah makam Yosef Budi “Belek” Laksmono yang meninggal di Sungai Alas Aceh Tenggara pada 25 Januari 1986 pada usia 27 tahun 7 bulan. Lokasi makam ini terpisah dari kedua makam sebelumnya karena makam Budi Belek pada kompleks Kristen lebih ke arah Barat, sebelah kanan jalan dari arah parkiran berjarak sekitar 100 meter-an. Posisi nisan menghadap utara di sekitar bawah mushola. Sama seperti kunjungan pada dua makam lainnya kami menaburkan kembang serta menuang air wewangian. Tetapi di makam ini kami tidak berdoa bersama dan sayapun berdoa sendirian saja karena mbak Nessy yang dituakan juga keberatan mimpin doa.
Berfoto bersama Andi Setiadi dekat makam Budi Belek Laksmono
Setelah berfoto kamipun bergerak pulang kembali dan janjian bertemu di sekretariat pada malam harinya untuk mendengarkan debat calon ketua dalam rangka acara pemilihan ketua umum yang biasa dilaksanakan berbarengan dengan acara Ulang Tahun Mapala UI, tetapi dengan sangat menyesal saya ingkar datang Mbak Nessy karena ada kerjaan kantor. 

Sabtu, 22 Desember 2012

Gowes Muara Karang 3 November 2012



Ketagihan gowes malam? Hahaha mungkin.. Saya sounding siapa yang mau gowes malam ke grup BKP’93. Banyak yang respon berseragam yang intinya pada ogah. Tapi kebenaran ada satu teman si Iman yang seneng aja. Rupanya dia juga susah cari teman gowes. Singkat kata kami janjian bertemu di Izzi Piza Pancoran sekitar pukul 17.30. Saya angkut sepeda dengan braket di bagian belakang mobil yang sudah saya beli beberapa minggu lalu seharga 400ribu untuk dua sepeda. Saya nebeng sampai di menteng dan lanjut ke Pancoran. Dari Pancoran kami gowes dengan tujuan Pasar Ikan Muara Karang melalui Gatot Subroto, Semanggi, naik ke fly over Tomang dan Grogol. Antrian kendaraan padat di Grogol berlanjut terus hingga ke depan Seasson City. Lanjut lagi ke arah Pluit gowes terus. Di perempatan Pluit sebelah kiri Emporium Mall, Gedung Honey Lady lalu Pulit Junction dan di sebelah kanan RS. Atmajaya Pluit. Lanjut hingga ke Mall Pluit lalu belok kiri dan nyebrang kali. Gowes terus hinga pertigaan kiri ke kamal dan kami ke kanan. Tidak berapa jauh kami belok kiri masuk dan masuk ke area Pasar Ikan. Layaknya pasar tradisional di Indonesia, pasar ini jorok sekali dengan banu menyengat. Jalan becek meskipun terbuat dari beton masih ada saja genangan air. Kadang dengan malas kami harus menjejakkan kaki ke jalan yang becek dan bau itu menunggu gerobak lewat atau truk yang sedang muat ikan. Kami lanjut lagi hingga ke ujung parkiran dan belok kiri ke kawasan rumah makan-rumah makan. Saya coba ingat terakhir kali makan disini sekitar 5 tahun yang lalu dan bisa dibilang tidak banyak yang berubah. Kami tuntun sepeda mengikuti salah satu penjaja rumah makan yang menawarkan warungnya di pintu masuk tadi.

Beli ikan bisa di pelelangan atau langsung di warung makan, dan ikan kuwe siap akan dibakar,
di latar depan sepeda  kami

Kelapa muda datang, mmmm nikmat sekali, saya tidak lapar tapi haus
Menu yang kami pesan, siap disikat oleh Iman Sulaeman

Iman Sulaeman dan Paul S Hutauruk, ngejoprak di emperan Circle K sambil minur bir dan air mineral...

Menanti seseorang kata si Iman..hah!? latar depan sepeda Giant Iman sedang parkir terbalik..

Saya mengambil foto ini dari emperan dan saya suka aja...lampu  kuning  dan merahnya  melintas membentuk panah dan dibawahnya petugas masih melayani pelanggan di SPBU shell 24 jam ini

Parkir di depan pintu masuk Circle K, sepeda Giant Iman parkir terbalik dan  United  hijau saya disamping kanan
 Kami segera pesan kelapa muda, ikan kuwe bakar dan udang goreng mentega. Tak lupa si Iman minta otak-otak juga. Saya sebenarnya tidak begitu lapar tetapi haus iya. Waktu ini saya belum punya ransel kecil yang biasa dikenakan para pegowes jadi saya selalu beli air mineral di warung, dan kali ini saya beli juga disamping kelapa muda. Sekitar 20 menit makanan siap disajikan. Nyam-nyam-nyam, nikmat kali kuwe bakar dengan sambal aneka rupa, kecap, terasi, kacang dan mangga. Tandas! Tiba saat bayar dihitung harga per cobek sambal hingga makanan utama yang bila ditotal sekitar 100,000. Mmmm its ok lah. Lalu setelah istirahat kami berangkat pulang, eh sepeda yang kami parkir di depan warung makan kami ditagih parkir, hehehehe kata Iman “Lah? Sepeda pake bayar juga?” tidak jelas memang, lalu saya berikan 1,000 saja untuk parkir dua sepeda. Kami menggunakan jalur yang tidak jauh berbeda hanya memang jalur balik memutar dan muncul dari arah kiri Atmajaya. Di perempatan kembali saya lihat gedung yang sama Emporium dan Honey Lady dengan logo BUMAnya.. ; D .. di bagian atas gedung. Belok kiri, kami gowes ke arah Grogol, dan seperti waktu berangkat di sekitar Seasson City padat, saya sempat hampir terpeleset karena ada ojek potong tempe jalur kami. Lanjut gowes grogol, tomang, semanggi, kuningan dan masuk ke SPBU Shell di Gatot Subroto seberang gedung SME sebelum Pancoran. Beli bir bintang biru Zero Alcohol 6,500 dan air mineral 2,500 di Circle K dan langsung ngejoprak di empean toko. Jam sudah hampir tengah malam, kami berdua lanjut ngobrol sambil merencanakan trip sepedaan berikutnya. Tepat tengah malam kami berpisah di bawah tugu Dirgantara Pancoran, saya ke Selatan menuju Pasar Minggu dan Iman ke Utara arah Manggarai. Foto-foto di laman ini menggunakan Blackberry Curve yang sudah berumur 1 ½ tahun.        

Sejarah Sepeda Gunung




Sejarah sepeda gunung dan bersepeda gunung hampir sama panjang dan bervariasi seperti sepeda itu sendiri. Awalnya dikenal sebagai Klunkerz, sepeda ini telah naik off-road sejak penemuan mereka. Pada tahun 1988, Mountain Bike Hall of Fame (http://www.mtnbikehalloffame.com/page.cfm?pageid=3) didirikan di Colorado, Amerika Serikat untuk mencatat sejarah sepeda gunung dan bersepeda gunung, dan untuk mengenali individu dan kelompok yang telah memberikan kontribusi signifikan terhadap olahraga ini.

Tahun 1800
Salah satu contoh pertama dari sepeda dimodifikasi khusus untuk off-road adalah ekspedisi Buffalo Soldiers dari Missoula, Montana ke Yellowstone dan kembali pada Agustus 1896.

Pasukan Buffalo, Infantri ke-25 Ameerika Serikat tahun 1896, 
http://www.urbansimplicity.com/2012/02/buffalo-soldiers.html


Tahun 1900-1960-an
Contoh lain awal mengendarai sepeda off-road adalah ketika jalan pengendara sepeda balap yang digunakan cyclo-cross sebagai sarana menjaga kebugaran selama musim dingin. Cyclo-cross akhirnya menjadi olahraga sendiri di tahun 1940-an, dengan kejuaraan dunia pertama pada tahun 1950. The French Velo Cross Club Parisien (VCCP) terdiri dari sekitar dua puluh satu pengendara sepeda muda dari pinggiran kota Paris, yang antara tahun 1951 dan 1956 mengembangkan olahraga yang sangat mirip dengan masa kini bersepeda gunung.
The Fellowship Roughstuff didirikan pada tahun 1955 oleh pengendara sepeda off-road di Inggris. Di Oregon, salah satu anggota klub Chemeketan, D. Gwynn, membangun sepeda trail medan kasar pada tahun 1966 dan dia menamakannya "sepeda gunung" untuk tempat yang dimaksudkan penggunaan sepedanya tersebut. Ini mungkin penggunaan pertama dari nama Sepeda Gunung.
Sepeda Cleeland 670b-700c cross country cycles
http://clelandcycles.wordpress.com/history/ 

Di Inggris pada tahun 1968, Geoff Apps, pengendara sepeda motor uji coba, mulai bereksperimen dengan desain sepeda off-road. Pada 1979 ia telah mengembangkan sepeda ringan kustom dibangun yang unik cocok untuk off-road kondisi basah dan berlumpur seperti bagian selatan-timur Inggris. Sepeda dirancang sekitar 2 inch x 650b ban salju Nokian meskipun versi (29er) 700C juga diproduksi. Ini dijual di bawah merek Cycles Cleland sampai akhir tahun 1984. Sepeda berdasarkan desain Cleland ini juga dijual oleh English Cycles dan Highpath Engineering sampai awal 1990-an.

Tahun 1970-1980-an
Ada beberapa kelompok pengendara di berbagai wilayah Amerika Serikat yang dapat membuat klaim yang sah untuk memainkan bagian dalam kelahiran olahraga. Riders di Crested Butte, Colorado dan Cupertino, California bermain-main dengan sepeda off-road. Modifikasi sepeda cruiser berat, 1930 dan '40s Schwinn sepeda dipasang dengan rem yang lebih baik dan ban lemak, digunakan untuk freewheeling menuruni jalur gunung di Marin County, California pada pertengahan-ke-akhir 1970-an. Pada saat itu, tidak ada sepeda gunung. Para nenek moyang awal dari sepeda gunung modern yang berbasis di sekitar frame dari sepeda cruiser seperti yang dibuat oleh Schwinn. 
Schwinn Excelsior Klunker  http://mombat.org/MOMBAT/Bikes/Excelsior.html 

The Excelsior Schwinn adalah bingkai / frame pilihan karena geometri. Riders menggunakan ban dalam dan memodifikasi sepeda  dengan gigi dan motorcross atau gaya setang BMX, untuk menciptakan "klunkers". Istilah ini juga akan digunakan sebagai kata kerja sejak istilah "bersepeda gunung" itu belum digunakan. Pengendara akan adu cepat menuruni gunung, menyebabkan rem hub untuk membakar bagian dalam grease, membutuhkan pengendara untuk mengepak bantalan. Ini disebut "Repack Races" dan memicu inovasi pertama dalam teknologi sepeda gunung serta minat awal masyarakat. Olahraga ini berasal di California pada Marin County Gunung Tamalpais.
George Newman on Repack, 1976. Photo courtesy Charlie Kelly’s website.  http://www.singletracks.com/blog/uncategorized/happy-birthday-mountain-biking/
Tidak sampai akhir 1970-an dan awal 1980-an bahwa jalan perusahaan sepeda mulai memproduksi sepeda gunung menggunakan material berteknologi tinggi ringan. Joe Breeze biasanya dikreditkan dengan memperkenalkan tujuan-dibangunnya sepeda gunung pertama pada tahun 1978. Tom Ritchey kemudian melanjutkan untuk membuat frame untuk sebuah perusahaan bernama mountainbikes, kemitraan antara Gary Fisher, Charlie Kelly dan Tom Ritchey. Tom Ritchey, tukang las dengan keterampilan dalam membangun frame, juga membangun sepeda aslinya. Tiga perusahaan mitra akhirnya dibubarkan kemitraan mereka, dan perusahaan menjadi Fisher Mountain Bikes, sementara Tom Ritchey memulai toko bingkai sendiri. Sepeda gunung pertama pada dasarnya frame sepeda jalan (dengan tubing berat dan geometri yang berbeda) dengan bingkai yang lebih luas dan garpu untuk memungkinkan ban yang lebih luas. Setang juga berbeda dalam bahwa mereka lurus, melintang-mount stang, bukan, setang turun melengkung yang biasanya dipasang pada sepeda balap jalanan. Juga, beberapa bagian di sepeda gunung produksi awal diambil dari sepeda BMX. Kontributor lainnya adalah Otis Guy dan Keith BONTRAGER.
BMX Bike  http://en.wikipedia.org/wiki/BMX_bike

Tom Ritchey membangun teratur bingkai gunung pertama sepeda, yang diasesorikan oleh Gary Fisher dan Charlie Kelly dan dijual oleh perusahaan mereka disebut mountainbikes (kemudian berubah menjadi Fisher Mountain Bikes kemudian dibeli oleh Trek, masih dengan nama Gary Fisher, saat ini dijual sebagai s Trek "Gary Fisher Collection"). Dua yang pertama sepeda gunung massal yang berahasil dijual pada awal tahun 1980: yang Stumpjumper khusus dan Univega Alpina Pro. Pada tahun 2007 film dokumenter Klunkerz: Sebuah Film Tentang Sepeda Gunung dirilis. Film ini mendokumentasikan subjek sejarah sepeda gunung selama periode formatif di Northern California.
Pada saat itu, industri sepeda tidak terkesan dengan sepeda gunung, yang banyak dianggap sebagai sebuah trend jangka pendek. Secara khusus, produsen besar seperti Schwinn dan Fuji gagal melihat pentingnya sebuah sepeda segala medan dan ledakan datang 'olahraga petualangan'. Sebaliknya, sepeda gunung pertama yang diproduksi secara massal yang dipelopori oleh perusahaan baru seperti mountainbikes (kemudian, Fisher Gunung Bikes), Ritchey, dan Specialized. Khusus adalah sebuah perusahaan startup Amerika yang diatur untuk produksi frame sepeda gunung dari pabrik-pabrik di Jepang dan Taiwan. Pertama dipasarkan pada tahun 1981, sepeda gunung khusus yang sebagian besar diikuti bingkai geometri Tom Ritchey, tetapi menggunakan las TIG untuk bergabung dengan tabung bingkai bukan fillet-mematri, proses lebih cocok untuk produksi massal dan yang membantu untuk mengurangi tenaga kerja dan biaya produksi. Sepeda yang dikonfigurasi dengan 15 gigi menggunakan derailleur pergeseran, chainrings tiga, dan lima roda belakang.

Tahun 1990-2000-an
Sepanjang tahun 1990-an dan dekade pertama abad ke-21, bersepeda gunung menjadi pilihan olah raga. Sepeda gunung dan perlengkapan sepeda gunung yang dulunya hanya tersedia di toko-toko khusus atau melalui mail order menjadi tersedia di toko sepeda standar. Pada dekade pertengahan pertama abad ke-21, bahkan department store seperti Wal-Mart mulai menjual sepeda gunung murah dengan rem penuh suspensi dan disc. Pada dekade pertama abad ke-21, kecenderungan sepeda gunung termasuk "all mountain bike ", 29er dan singlespeed tersebut. The "all mountain bike" dicirikan oleh 4-6 inci (100-150mm), kemampuan untuk turun dan menangani kondisi yang sangat kasar dan pedal masih efisien untuk memanjat. Sepeda 29er adalah mereka menggunakan ukuran 700C rims (seperti yang dilakukan kebanyakan sepeda jalan), tetapi lebih luas dan cocok untuk ban dari dua inci (50mm) lebar atau lebih, roda diameter peningkatan mampu berguling hambatan yang lebih baik dan menawarkan patch ban kontak yang lebih besar , tetapi juga menghasilkan wheelbase lebih panjang, membuat sepeda kurang tangkas, dan dalam ruang perjalanan kurang untuk suspensi, sehingga 29er ini tidak cocok untuk pengendara kecil dan jalan berkelok-kelok kecil. Kecepatan tunggal dianggap kembali ke kesederhanaan dengan tidak ada komponen drivetrain atau shifter, namun demikian membutuhkan pengendara kuat.
2010 Orbea All Mountain Bike,
http://www.bikerumor.com/2010/03/28/first-look-2010-orbea-rallon-150mm-travel-lightweight-enduro-mountain-bike/

2010 Orbea All Mountain Bike,
http://www.bikerumor.com/2010/03/28/first-look-2010-orbea-rallon-150mm-travel-lightweight-enduro-mountain-bike/ 


2010 Orbea All Mountain Bike,
http://www.bikerumor.com/2010/03/28/first-look-2010-orbea-rallon-150mm-travel-lightweight-enduro-mountain-bike/ 

Mengikuti tren yang berkembang di 29-inch sepeda (29ers sebagaimana disebutkan di atas), ada kecenderungan lain dalam komunitas bersepeda gunung yang melibatkan ukuran ban. Salah satu yang lebih umum adalah, baru 650B agak esoterik dan eksotis (27,5 inci). Ukuran roda, berdasarkan pada ukuran roda jelas untuk tur sepeda jalan. Kecenderungan lain yang menarik di sepeda gunung adalah perlengkapan melompat kotoran atau sepeda perkotaan dengan garpu kaku. Sepeda ini biasanya menggunakan garpu perjalanan 4-5 "suspensi Produk yang dihasilkan digunakan untuk tujuan yang sama seperti sepeda asli.  Dalam dekade pertengahan pertama abad ke-21, peningkatan jumlah sepeda gunung berorientasi resort dibuka. Seringkali, mereka sama atau di kompleks yang sama sebagai resor ski, atau resort dengan rintangan seperti Taman MTB Indoor Ray taman sepeda gunung yang dioperasikan sebagai kegiatan musim panas di bukit ski biasanya, termasuk chairlifts yang disesuaikan dengan sepeda, jumlah jalan, berbagai kesulitan, dan fasilitas penyewaan sepeda.