|
Gereja HKBP Lumban Soit di Sipoholon, gereja tempat Ompung Doli berkarya di ladang Tuhan, aku menghirup udara yang sama dihirup Ompung Doli dan Papi, Gereja mungil yang bersahaja |
Hari ketiga hari Selasa, tepat pada
hari Natal kami berangkat ke Gereja HKBP Lumban Soit Sipoholon menggunakan
angkot melalui kota Tarutung karena truk tidak bisa lewat karena jalan sempit.
Kami tiba sekitar pukul 10.00 atau sekitar setengah jam sebelum kebaktian
dimulai.
|
Tampak samping Gereja HKBP Lumban Soit, sempat jadi latar belakang foto Ompung Doli bersama rekannya pada tahun 1950-an.
|
Ompung Guru Kladius sebagai salah satu Penetua atau Parhalado atau Forhanger (maaf kalau salah eja) duduk paling kiri. Perhatikan gereja HKBP Lumban Soit yang menjadi latar belakang. Perhatikan pula topi di samping kaki bangku yang diduduki Ompung Doli. Stylish sekali si Ompung Doli ini dengan postur yang ramping, keren n salut untuk Ompung Doli. |
|
|
Pendeta menggunakan toga hitam bersama penetua atau parhalado (pembina jemaat) menggunakan toga putih berdiri di depan podium. |
|
Kertas Liturgi yang berisi urut-urutan ibadah, tidak menyangka gereja sekecil inipun menggunakan tata ibadah yang tercetak, hebat sekali dan salut. |
Bangunan gereja ini tidak seasli
gereja pusat HKBP Pearaja semalam, tetapi gereja ini dibangun sekitar tahun
1900 an, dan kalau menurut abang saya yang pernah tinggal di Sipoholon gereja
dibangun sekitar tahun 1950. Saya pernah lihat gereja ini menjadi latar
belakang salah satu foto ompung Guru Klaudius Hutauruk bersama bebeapa pengurus
gereja atau Penetua, bertanda tahun 1958. Dilihat dari foto ompung tersebut
sepertinya gereja ini menggunakan dinding kayu pada awalnya. Lokasi gereja ini
di pada dataran lebih tinggi dari jalan kampung, dan bila dari jembatan aek
Sigeaon sekitar 200meter di sebelah kanan. Ada dua bangunan di lokasi ini
termasuk gereja dan satu bangunan lagi sekolah. Diantara kedua bangunan ini ada
lapangan, dan kendaraan angkot kami dapat bermanuver bebas dan parkir menunggu
hingga kami selesai. Bila dibandingkan dengan gereja HKBP Jalan Jambu gereja
ini terbilang sederhana tetapi bersahaja dengan organ dan song leader
mengiringi setiap lagu. Peserta ibadah cukup banyak, dan ada beberapa paduan
suara termasuk koor (paduan suara) remaja, naposo (anak muda), ina (kaum ibu),
ama (kaum bapak), dan sintua (penetua suami istri) di podium. Seperti di gereja
Pearaja, pendeta menggunakan toga hitam sementara penetua menggunakan toga putih,
hal mana bila di Jakarta hanya pendetat yang menggunakan toga hitam sementara
penetua tidak menggunakan toga. Setelah kebaktian diadakan acara sambutan pada
kami, dan kami diwakili Angkang Rusli menyampaikan kata sambutan dilanjutkan
dengan penyerahan dana bantuan oleh rombongan kami untuk berbagai bidang /
seksi gereja disana. Saya menyampaikan bantuan dari orang tua seperti yang
diamanatkan mereka (mami dan papi sewaktu masih hidup tahun 2011 lalu) untuk
menyerhakan bantuan untuk sekolah minggu. Setelah acara sambutan tersebut
kamipun berangkat ke hutabagasan untuk mengadakan acara syukuran dengan
mengundang makan siang saudara-saudara se ompung Manhara Hutauruk (generasi
Hutauruk kedelapan) yang memiliki empat orang anak dan kami adalah keturunan dari
anak pertama (si angkangan).
|
Berpose di depan rumah Ompung di Hutabagasan Lumbansoit. Ompung boru Tobing dikenal sebagai orang yang rajin bercocok tanam dan sehingga lokasi ini disebut pula porlak (ladang) sehingga disebut par porlak (orang ladang). Bangunan sisi kiri pada awalnya berlantai kayu sementara bangunan utama sudah disemen dari dulu. |
|
Berpose di tangga depan rumah. |
|
Meja dan kursi di ruang depan, perhatikan kursi betawi (batavia) di sebelah kanan yang diduduki ompung doli sewaktu berfoto sekeluarga dengan ibu boru Parapat, istri boru Tobing (ompung boru), dan anak-anaknya laki-laki semua (papi dan amangtua). Ada beberpa foto ompung tergantung disana, dan foto sewaktu ompung doli meninggal yang sebagian sisinya rusak sehingga muka papi dan beberapa amangtua tidak nampak lagi. |
|
Foto dalam pigura yang kami siapkan dari Jakarta untuk dipasang di rumah Ompung, salah satunya foto paling atas , foto prewedding papi dan mami sekitar 1956, hahahaha gaya bener ya. |
|
Dua foto yang kami bawa pula dari Jakarta, paling atas foto papi bersama amangtua berpasang-pasangan, pada saat berkumpul di rumah amangtua di jalan gresik menteng saat syukuran memberangkatkan Angkang Indra ke Jerman untuk melanjutkan sekolah, aku perkirakan sekitar tahun 1978 foto ini. Lalu foto sebelah bawah kiri adalah foto keluarga besar Lodewijk Hutauruk beserta turunannya diambil sekitar tahun 2008 |
|
Foto dibawah adalah foto Ompung Doli sekeluarga bersama Inangtua boru Parapat, papi berdiri di sisi kanan Ompung Doli. Jumlah anak dalam foto 6 orang, smentara yang berdiri diapit Ompung boru Tobing dengan Inangtua boru Parapat salah satu kerabat dekat. Satu orang amangtua nomor tiga (menurut urutan lahir) tidak ada karena pergi merantau dan meninggal di sekitar Jambi dan belum sempat menikah. Aku pernah melihat foto sekitar tahun 1980 an ketika amangtua JP mencari dan menggali tanah yang dianggap makam amangtua ku nomor tiga tersebut. |
|
Ini foto Papi yang kuletakkan di meja pojok ruang depan. Foto yang sama dengan ukuran besar ada di rumah kami di Jakarta, foto yang sempat dilihat dan disukai oleh papi sekitar 2 minggu menjelang wafat. Foto ini dibuat oleh hela ni amang, Lae Tigor Siahaan, suami dari ito Vera Hutauruk |
Tujuan awal dari gereja sebelum ke
lokasi acara, mengunjungi rumah Ompung Guru Klaudius di porlak hutabagasan.
Rumah ompung berdinding papan dan beratap seng. Kondisinya agak kurang terawat
dimana beberapa bagian kayu papa nada yang keropos dan seng atap koyak. Warna
dasar dinding rumah putih dengan warna hijau muda pada garis sudut rumah
sepanjang sisinya. Kami menaiki beberapa anak tangga dan masuk ke ruang depan
atau tamu dan ada kamar disamping kanan. Bangku dibagian depan seperti satu set
bangku rotan (4 buah dengan 1 meja bundar) serta ada satu bangku seperti bangku
khas Betawi yang diduduki Ompung Doli (kakek) seperti kulihat pada foto
keluarga ayah sewaktu ayah saya berumur sekitar 9 tahun atau tahun 1939. Di
kamar depan samping tersebut saya lihat organ atau poti musik yang menurut ayah
saya, dulu dimainkan oleh ompung doli. Pada dinding kulihat ada beberapa foto
ompung doli bersama rekan penetua serta foto sewaktu ompung doli meninggal.
Sayang foto tersebut rusak pada sebagian sisinya dimana setahu saya bergambar
wajah ayah bersama abangnya di sisi kiri peti jenazah pada waktu jenazah ompung
disemayamkan yang menurut perkiraan saya di halaman depan rumah ompung. Ada
juga kulihat foto ompung inangtua boru Parapat ibu dari ompung doli. Masuk ke
ruang dalam, terdapat satu buah kamar disamping, tetapi kamr tersebut terkunci.
Ada pintu keluar yang sejajar dengan pintu depan, dan satu pintu ke ruang dapur
di sisi kiri. Kami masuk ke ruang dapur dan tempat makan yang dulunya berlantai
kayu dan sekarang disemen. Ruangan ini cukup luas dengan panjang selebar ruang
tengah dan lebar sekitar 4 meter, dengan satu meja makan besar dengan dua
bangku panjang, cukup menampung seluruh anggota keluarga saat ini dua orang tua
dengan tujuh orang anak laki-laki. Ada beberapa ruangan sekiling ruang makan
ini termasuk dapur, gudang, dan kamar kecil atau kamar mandi. Saat ini ruang
makan tersebut menjadi tempat huni keluarga yang ditugaskan menjaga rumah
ompung ini.
|
Ruang tengah dengan pintu sejajar dengan pintu depan. |
|
Ruang Tengah difoto dari bangunan sisi kiri |
|
Bangunan sisi kiri yang dulunya berlantai kayu. Disni ada beberapa ruang seperti gudang, kamar mandi, dan dapur. Ruangan ini digunakan oleh penjaga yang ditugasi menjaga rumah ompung. |
Sekitar 45 menit kami di rumah
ompung, lalu kami berangkat kembali ke lokasi acara di depan rumah Ompung
Pendeta Melanthon yang saat ini dihuni oleh Ompung Boru Manalu, ibu dari
Amanguda Sakti Hutauruk. Tenda sudah didirikan, dan bangku plastic dijajarkan.
Berhubung waktu sudah lewat dari jam makan siang umumnya maka diusulkan untuk
makan siang terlebih dahulu barulah dilanjutkan dengan acara syukuran. Makanan
dirames di atas piring dengan menu nasi segunung, sangsang, panggang, sayur
sawi dan ikan teri, nikmat sekali membayangkannya, dan menurut saya itu menu
yang paling enak selama perjalanan ini. Piring diedarkan satu per satu hingga
semua undangan telah mendapat jatah. Setelah dipastikan semua dapat jatah, maka
selanjutnya berdoa makan bersama.
|
Membagikan makanan dalam piring secara estafet oleh boru Hutauruk, dibagikan ke seluruh orang yang datang, dan baru setelah semua mendapat jatah dilakukan doa bersama |
|
Pembagian hadiah untuk anak-anak usia sekolah |
|
Mandok Hatta dari Angkang Lambok Hutauruk |
|
Mandok Hatta dari Lae serta Amangboru |
|
Mangampu dimuali dari kami yang paling kecil hingga Angkang Indra yang paling besar (siangkangan) |
|
Angkang Leonidas Hutauruk (anak amangtua JP) yang berdomisili di Tarutung, tertawa karena digoda para tamu, berdiri mangapu bersama Angkang Indra Hutauruk |
|
Mangapu Ombung Boru Manalu (istri Ompung Pendeta), Inganuda Sakti dan Amanguda Sakti Hutauruk |
|
Dua orang boru Hutauruk, boru kepala kampung, yang masih kuliah di Medan, yang sebelah kiri kuliah di Jurusan Pertanian sebelah kanan kuliah di Jurusan Akunting, bernyanyi untuk menghibur sekaligus menyerahkan proposal |
Setelah makan barulah masuk acara
syukuran yang dipimpin pendeta serta pemain organ dari gereja tadi. Acara
berlanjut setelah kotbah, dengan pemberian hadiah-hadiah yang sudah kami
siapkan sebelum berangkat. Hadiah untuk anak-anak usia sekolah SD hingga
remaja. Seperti biasa di pertemuan adat orang batak, maka kami memberikan
kesempatan perwakilan saudara-saudara yang datan sesuai urutannya untuk
menyampaikan pesan atau mandok hata. Urutan yang dimaksud disesuaikan dengan
seberapa jauh mana peserta yang diundang (berapa generasi). Untuk acara kali
ini kami mengundang dari keturunan dari Raja Manahara yang memiliki empat anak,
dan kami dari keturunan anak pertama maka yang pertama mandok hata perwakilan
dari anak keempat dilanjutkan anak ketiga dan kedua. Selanjutnya mandok hata
dari keturunan anak pertama Ompu Salisi Hutauruk, dimana kami merupakan
keuturan anak ke lima St. Josaphat dari enam bersaudara. Maka urutan berikut
mandok hata dari keturunan keenam dilanjutkan keempat hingga pertama.
Sebelumnya dari kelompok boru turunan Ompu Salisi gabungan dari boru turunan
terkahir hingga pertama menyampaikan mandok hata. Setelah itu giliran tuan
rumah, Ompung boru Manalu mandok hata. Tibalah giliran kami kelompok perantau
untuk manyampaikan atau menjawab pesan (mangapu).
Cuaca kurang mendukung karena hujan
sejak awal hingga acara berakhir. Kamipun bergegas berjalan kaki menuju
jembatan tempat bus kami menunggu. Hujan tetap mengiringi perjalanan kami ke
Boli-boli Café di Sipoholon untuk mandi air panas atau makan malam. Mengingat
hari libur sehingga banyak sekali pengunjung di pemandian air panas sehingga
sebagian dari kami mengurungkan niat mandi dan hanya makan malam saja. Dari
sini kami kembali ke penginapan di Hotel Hineni Tarutung.
|
Patok kilometer di dekat Hotel Hineni menunjukkan jarak antar kota dari titik patok ini, ke Sibolga (SBG) 68 km, ke Tarutung (TRT) 2 km, dan ke Sipirok (SPK) 72 km. |
|
Turun dari parkir berfoto sebentar, di latar belakang toko tempat menjajakan cindera mata khas batak dan Salib kasih |
|
Berpose di depan pintu masuk Salib Kasih dari kiri Dharma Hutauruk, Maratur boru Hutauruk, Rusli Hutauruk, Priscilla Rosemarie boru Hutauruk, Rita Kartini boru Tobing dan Josaphat Hutauruk |
|
Jalan cone block dengan pohon yang terawat |
|
Berpose di jalan menurun atau mendaki |
|
Pohon yang menjulang tinggi dalam perjalanan ke Salib Kasih |
Hari keempat hari Rabu tanggal 26
Desember pagi setelah sarapan kami berangkat ke Salib Kasih. Kami berganti
kendaraan dari bus ke angkot di pertigaan yang menuju ke arah Salib Kasih.
Perjalanan sekitar setengah jam hingga tiba di lokasi. Salib Kasih berlokasi di
Atas Barita yang dianggap lokasi bersejarah dimana Ompu Nomensen sebagai misi
penyebar agama Kristen Protestan di Silindung, pertama kali menatap lembah
Silindung dan menetapkannya sebagai ladang pemberitaan sewaktu beliau melihat
dari lokasi ini. Memasuki lokasi ini berjejer penjaja cendera mata bertema khas
batak dan khususnya Salib Kasih. Kami sempat berfoto di depan tugu Ompu
Nomensen. Kami lanjutkan perjalanan dengan mendaki melalui jalan cone block.
Pada jalur ini ada sejumlah tempat istirahat dengan papan berisi Perintah Allah
yang berurutan dari pertama di bawah hingga kesepuluh di puncaknya atau area Salib
Kasih. Di area ini ada bangku untuk ibadah dengan podium menghadap rura
silindung dan Salib Kasih menjulang tinggi di belakang area ibadah yang dibuat
terbuka. Kami memilih untuk beribadah sendiri dengan mengambil lokasi di rumah
doa yang ada di belakang tempat ibadah terbuka tersebut. Setelah beribadah
bersama, kami dipersilakan oleh Ny. Indra Hutauruk boru Tobing untuk melakukan
ibadah keluarga per keluarga selama lebih kurang 15 menit.
|
Di lokasi yang diyakini tempat Ompu Nomensen (dari zending Jerman) melihat Ladang Tuhan di Rura Silindung , sekitar tahun 1860 an dalam perjalanannya dari Sibolga. |
|
Salib Kecil di area Salib Kasih di atas batu yang diyakini sebagai pijakan Ompu Nomensen |
|
Cerita singkat mengaenai pelayanan Ompu Nomensen |
|
Salib Kasih dilatar belakang, undakan tempat duduk untuk ibadah di udara terbuka |
|
Bangku semen untuk ibadah berikut podium semen, dibuat mengikuti kontur atau sengaja seperti teater |
|
Ny. Indra Hutauruk boru Tobing memimpin ibadah bersama sebelum ibadah masing-masing keluarga dalam rumah -rumah doa (sisi kiri) berukuran 3x3 meter |
Setelah itu kami pulang kembali ke
hotel untuk berkemas dilanjutkan makan siang di Lapo Sona karena siang ini kami
akan check out dan berangkat ke Balige dengan tujuan Hotel Ompu Herti. Kami
sempatkan mampir ke Pasar Tarutung. Kaum ibu melihat-lihat ulos sementara saya
langsung mencari lokasi warung yang menjual kue talam. Saya mampir di warung
kue Talam Tobing dan memesan kue talam dengan kopi panas, nikmat sekali.
Setelah itu saya bergabung dengan Angkang Dharma yang sedang di warung kue
talam Sihombing. Ibu-ibu pun berkumpul disini karena lokasinya dekat pintu
masuk, atau di sebelah kanan pintu masuk, sementara lokasi warung Tobing dari
warung ini jalan menyebeang selokan ke arah utara. Gerimis mengikuti kami dalam
perjalanan ke Balige, kami berhenti sebentar di tengah perjalanan untuk membeli
kacang sihoubuk. Kami lanjutkan perjalanan lagi dengan tujuan ke Huta Ginjang
untuk melihat pemandangan Danau Toba dari ketinggian. Kami makan kacang kulit, krupuk
dan minum cendol hangat. Angkang Boru Napitupulu teringat makanan kesukaannya
krupuk waktu remaja dulu. Angin sepoi-sepoi menemani cengkrama kami di sana,
hemm ingin mengulangnya kembali. Sekitar 45 menit di Huta Ginjang kami
lanjutkan perjalanan ke Balige.
|
Tarutung yang berarti Durian ada dimana-mana, mau pesta durian datangalah di penghujung tahun , nikmat sekali. Foto diambil di depan Pasar Tarutung dekat kantor pajak |
|
Kaum ibu mencari ulos |
|
Memilih ulos yang terbaik |
|
Priscilla Rosemarie boru Hutauruk berpose dengan latar pintu masuk Pasar Tarutung |
|
Paul S Hutauruk berpose sebagai penjaja kue talam di warung Sihombing Pasar Tarutung |
|
Kue talam, kue lapi di warung Tobing Pasar Tarutung |
|
Pesanan saya, Kue Talam dengan Kopi Hitam panas. Super Nikmat! |
|
Yang tidak pernah akan ada di Tanah Jawa, penjual daging babi kaki lima, ini kufoto sewaktu kami ganti angkutan dari bus ke angkot dalam perjalanan ke Salib Kasih |
Tiba di Balige kami langsung makan
malam di Wita café di pinggir Danau Toba. Angin kencang memaksa kami berpindah
dari bagian teras ke tengah café. Setelah makan kami check in di Hotel Ompu
Herti milik TB. Silalahi. Hotel ini kurang terawat, beberapa sudutan rokok ada
di tirai, slot kunci pintu kamar mandi dan pintu kamar pun hilang. Pisau lipat
yang saya gunakan untuk dijadikan slot kunci pengaman pintu kamar pun
tertinggal sewaktu kami packing untuk melajutkan perjalanan ke Parapat.
|
Pemandangan danau Toba dari Huta Ginjang |
|
Sendor Hangat atau Cendol Hangat di Huta Ginjang karena di Pasar Tarutung tidak ada yang jual |
|
Kerupuk kesukaan Angkang Boru Napitupulu |
|
kacang Sihobuk |
|
Dari kiri ke kanan, Ny. Dharma Hutauruk boru Tobing, Ny. Indra Hutauruk boru Tobing, Ny. Rusli Hutauruk boru Napitupulu sedang bernostalgia dengan krupuk, dan Rita Kartini boru Tobing di Huta Ginjang |
|
Huta Ginjang dari warung kopi paling atas |
|
Huta Ginjang 1550 mdpl |
|
Gereja di sekitar Huta Ginjang |
|
Tanaman yang umum di Sumatera Utara, kopi |
|
Berpose di depan Wita Cafe dari kiri Rita Kartini boru Tobing, Ny. Dharma Hutauruk boru Tobing, dan Ny. Tiur Gultom boru Hutauruk |