Senin, 21 Januari 2013

Tur Mulak Tu Huta / Perjalanan Pulang Kampung, 23 - 29 Desember 2012 (Hari Ketiga dan Keempat)

 

Gereja HKBP Lumban Soit di Sipoholon, gereja tempat Ompung Doli berkarya di ladang Tuhan, aku menghirup udara  yang sama dihirup Ompung Doli dan Papi, Gereja mungil yang bersahaja
Hari ketiga hari Selasa, tepat pada hari Natal kami berangkat ke Gereja HKBP Lumban Soit Sipoholon menggunakan angkot melalui kota Tarutung karena truk tidak bisa lewat karena jalan sempit. Kami tiba sekitar pukul 10.00 atau sekitar setengah jam sebelum kebaktian dimulai.

Tampak samping Gereja HKBP Lumban Soit, sempat jadi latar belakang foto Ompung Doli bersama rekannya pada tahun 1950-an.

Ompung Guru Kladius sebagai salah satu Penetua atau Parhalado atau Forhanger (maaf kalau salah eja) duduk paling kiri. Perhatikan gereja HKBP Lumban Soit yang menjadi latar belakang. Perhatikan pula topi di samping kaki bangku yang diduduki Ompung Doli. Stylish sekali si Ompung Doli ini dengan postur yang ramping, keren n salut untuk Ompung Doli.

Pendeta menggunakan toga hitam bersama penetua atau parhalado (pembina jemaat) menggunakan toga putih berdiri di depan podium.
Kertas Liturgi yang berisi urut-urutan ibadah, tidak menyangka gereja sekecil inipun menggunakan tata ibadah yang tercetak, hebat sekali dan salut.
Bangunan gereja ini tidak seasli gereja pusat HKBP Pearaja semalam, tetapi gereja ini dibangun sekitar tahun 1900 an, dan kalau menurut abang saya yang pernah tinggal di Sipoholon gereja dibangun sekitar tahun 1950. Saya pernah lihat gereja ini menjadi latar belakang salah satu foto ompung Guru Klaudius Hutauruk bersama bebeapa pengurus gereja atau Penetua, bertanda tahun 1958. Dilihat dari foto ompung tersebut sepertinya gereja ini menggunakan dinding kayu pada awalnya. Lokasi gereja ini di pada dataran lebih tinggi dari jalan kampung, dan bila dari jembatan aek Sigeaon sekitar 200meter di sebelah kanan. Ada dua bangunan di lokasi ini termasuk gereja dan satu bangunan lagi sekolah. Diantara kedua bangunan ini ada lapangan, dan kendaraan angkot kami dapat bermanuver bebas dan parkir menunggu hingga kami selesai. Bila dibandingkan dengan gereja HKBP Jalan Jambu gereja ini terbilang sederhana tetapi bersahaja dengan organ dan song leader mengiringi setiap lagu. Peserta ibadah cukup banyak, dan ada beberapa paduan suara termasuk koor (paduan suara) remaja, naposo (anak muda), ina (kaum ibu), ama (kaum bapak), dan sintua (penetua suami istri) di podium. Seperti di gereja Pearaja, pendeta menggunakan toga hitam sementara penetua menggunakan toga putih, hal mana bila di Jakarta hanya pendetat yang menggunakan toga hitam sementara penetua tidak menggunakan toga. Setelah kebaktian diadakan acara sambutan pada kami, dan kami diwakili Angkang Rusli menyampaikan kata sambutan dilanjutkan dengan penyerahan dana bantuan oleh rombongan kami untuk berbagai bidang / seksi gereja disana. Saya menyampaikan bantuan dari orang tua seperti yang diamanatkan mereka (mami dan papi sewaktu masih hidup tahun 2011 lalu) untuk menyerhakan bantuan untuk sekolah minggu. Setelah acara sambutan tersebut kamipun berangkat ke hutabagasan untuk mengadakan acara syukuran dengan mengundang makan siang saudara-saudara se ompung Manhara Hutauruk (generasi Hutauruk kedelapan) yang memiliki empat orang anak dan kami adalah keturunan dari anak pertama (si angkangan).
Berpose di depan rumah Ompung di Hutabagasan Lumbansoit. Ompung boru Tobing dikenal sebagai orang yang rajin bercocok tanam dan sehingga lokasi ini disebut pula porlak (ladang) sehingga disebut par porlak (orang ladang). Bangunan sisi kiri pada awalnya berlantai kayu sementara bangunan utama sudah disemen dari dulu.  
Berpose di tangga depan rumah. 
Meja dan kursi di ruang depan, perhatikan kursi betawi (batavia) di sebelah kanan yang diduduki ompung doli sewaktu berfoto sekeluarga dengan ibu boru Parapat, istri boru Tobing (ompung boru),  dan anak-anaknya laki-laki semua (papi dan amangtua). Ada beberpa foto ompung tergantung disana, dan foto sewaktu ompung doli meninggal yang sebagian sisinya rusak sehingga muka papi dan beberapa amangtua tidak nampak lagi. 

Foto dalam pigura yang kami siapkan dari Jakarta untuk dipasang di rumah Ompung, salah satunya foto paling atas , foto prewedding papi dan mami sekitar 1956, hahahaha gaya bener ya. 
Dua foto yang kami bawa pula dari Jakarta, paling atas foto papi bersama  amangtua berpasang-pasangan, pada saat berkumpul di rumah amangtua di jalan gresik menteng saat syukuran memberangkatkan Angkang Indra ke Jerman untuk melanjutkan sekolah, aku perkirakan sekitar tahun 1978 foto ini. Lalu foto sebelah bawah kiri adalah foto keluarga besar Lodewijk Hutauruk beserta turunannya diambil sekitar tahun 2008

Foto dibawah adalah foto Ompung Doli sekeluarga  bersama Inangtua boru Parapat, papi  berdiri  di sisi kanan Ompung Doli. Jumlah anak dalam foto 6 orang, smentara yang berdiri diapit Ompung boru Tobing dengan Inangtua boru Parapat salah satu kerabat dekat. Satu orang amangtua nomor tiga (menurut urutan lahir) tidak ada karena pergi merantau dan meninggal di sekitar Jambi dan belum sempat menikah. Aku pernah melihat foto sekitar tahun 1980 an ketika amangtua JP mencari dan menggali tanah yang dianggap makam amangtua ku nomor tiga tersebut.
Ini foto Papi yang kuletakkan di meja pojok ruang depan. Foto yang sama dengan ukuran besar ada di rumah kami di Jakarta, foto yang sempat dilihat dan disukai oleh papi sekitar 2 minggu menjelang wafat. Foto ini dibuat oleh hela ni amang, Lae Tigor Siahaan, suami dari ito Vera Hutauruk
Tujuan awal dari gereja sebelum ke lokasi acara, mengunjungi rumah Ompung Guru Klaudius di porlak hutabagasan. Rumah ompung berdinding papan dan beratap seng. Kondisinya agak kurang terawat dimana beberapa bagian kayu papa nada yang keropos dan seng atap koyak. Warna dasar dinding rumah putih dengan warna hijau muda pada garis sudut rumah sepanjang sisinya. Kami menaiki beberapa anak tangga dan masuk ke ruang depan atau tamu dan ada kamar disamping kanan. Bangku dibagian depan seperti satu set bangku rotan (4 buah dengan 1 meja bundar) serta ada satu bangku seperti bangku khas Betawi yang diduduki Ompung Doli (kakek) seperti kulihat pada foto keluarga ayah sewaktu ayah saya berumur sekitar 9 tahun atau tahun 1939. Di kamar depan samping tersebut saya lihat organ atau poti musik yang menurut ayah saya, dulu dimainkan oleh ompung doli. Pada dinding kulihat ada beberapa foto ompung doli bersama rekan penetua serta foto sewaktu ompung doli meninggal. Sayang foto tersebut rusak pada sebagian sisinya dimana setahu saya bergambar wajah ayah bersama abangnya di sisi kiri peti jenazah pada waktu jenazah ompung disemayamkan yang menurut perkiraan saya di halaman depan rumah ompung. Ada juga kulihat foto ompung inangtua boru Parapat ibu dari ompung doli. Masuk ke ruang dalam, terdapat satu buah kamar disamping, tetapi kamr tersebut terkunci. Ada pintu keluar yang sejajar dengan pintu depan, dan satu pintu ke ruang dapur di sisi kiri. Kami masuk ke ruang dapur dan tempat makan yang dulunya berlantai kayu dan sekarang disemen. Ruangan ini cukup luas dengan panjang selebar ruang tengah dan lebar sekitar 4 meter, dengan satu meja makan besar dengan dua bangku panjang, cukup menampung seluruh anggota keluarga saat ini dua orang tua dengan tujuh orang anak laki-laki. Ada beberapa ruangan sekiling ruang makan ini termasuk dapur, gudang, dan kamar kecil atau kamar mandi. Saat ini ruang makan tersebut menjadi tempat huni keluarga yang ditugaskan menjaga rumah ompung ini.   

Ruang tengah dengan pintu sejajar dengan pintu depan.
Ruang Tengah difoto dari bangunan sisi kiri
Bangunan sisi kiri yang dulunya berlantai kayu. Disni ada beberapa ruang seperti gudang, kamar mandi, dan dapur. Ruangan ini digunakan oleh penjaga yang ditugasi menjaga rumah ompung. 
Sekitar 45 menit kami di rumah ompung, lalu kami berangkat kembali ke lokasi acara di depan rumah Ompung Pendeta Melanthon yang saat ini dihuni oleh Ompung Boru Manalu, ibu dari Amanguda Sakti Hutauruk. Tenda sudah didirikan, dan bangku plastic dijajarkan. Berhubung waktu sudah lewat dari jam makan siang umumnya maka diusulkan untuk makan siang terlebih dahulu barulah dilanjutkan dengan acara syukuran. Makanan dirames di atas piring dengan menu nasi segunung, sangsang, panggang, sayur sawi dan ikan teri, nikmat sekali membayangkannya, dan menurut saya itu menu yang paling enak selama perjalanan ini. Piring diedarkan satu per satu hingga semua undangan telah mendapat jatah. Setelah dipastikan semua dapat jatah, maka selanjutnya berdoa makan bersama.

Membagikan makanan dalam piring secara estafet oleh boru Hutauruk, dibagikan ke seluruh orang yang datang, dan baru setelah semua mendapat jatah dilakukan doa bersama
Pembagian hadiah untuk anak-anak usia sekolah
Mandok Hatta dari Angkang Lambok Hutauruk
Mandok Hatta  dari Lae serta Amangboru 
Mangampu dimuali dari kami yang paling kecil hingga Angkang Indra yang  paling besar (siangkangan)
Angkang Leonidas Hutauruk (anak amangtua JP) yang berdomisili di Tarutung, tertawa karena digoda para tamu, berdiri mangapu bersama Angkang Indra Hutauruk
Mangapu Ombung Boru Manalu (istri Ompung Pendeta), Inganuda Sakti dan Amanguda Sakti Hutauruk
Dua orang boru Hutauruk, boru kepala kampung, yang masih kuliah di Medan, yang sebelah kiri kuliah di Jurusan Pertanian sebelah kanan kuliah di Jurusan Akunting, bernyanyi untuk menghibur sekaligus menyerahkan proposal
Setelah makan barulah masuk acara syukuran yang dipimpin pendeta serta pemain organ dari gereja tadi. Acara berlanjut setelah kotbah, dengan pemberian hadiah-hadiah yang sudah kami siapkan sebelum berangkat. Hadiah untuk anak-anak usia sekolah SD hingga remaja. Seperti biasa di pertemuan adat orang batak, maka kami memberikan kesempatan perwakilan saudara-saudara yang datan sesuai urutannya untuk menyampaikan pesan atau mandok hata. Urutan yang dimaksud disesuaikan dengan seberapa jauh mana peserta yang diundang (berapa generasi). Untuk acara kali ini kami mengundang dari keturunan dari Raja Manahara yang memiliki empat anak, dan kami dari keturunan anak pertama maka yang pertama mandok hata perwakilan dari anak keempat dilanjutkan anak ketiga dan kedua. Selanjutnya mandok hata dari keturunan anak pertama Ompu Salisi Hutauruk, dimana kami merupakan keuturan anak ke lima St. Josaphat dari enam bersaudara. Maka urutan berikut mandok hata dari keturunan keenam dilanjutkan keempat hingga pertama. Sebelumnya dari kelompok boru turunan Ompu Salisi gabungan dari boru turunan terkahir hingga pertama menyampaikan mandok hata. Setelah itu giliran tuan rumah, Ompung boru Manalu mandok hata. Tibalah giliran kami kelompok perantau untuk manyampaikan atau menjawab pesan (mangapu).
Cuaca kurang mendukung karena hujan sejak awal hingga acara berakhir. Kamipun bergegas berjalan kaki menuju jembatan tempat bus kami menunggu. Hujan tetap mengiringi perjalanan kami ke Boli-boli Café di Sipoholon untuk mandi air panas atau makan malam. Mengingat hari libur sehingga banyak sekali pengunjung di pemandian air panas sehingga sebagian dari kami mengurungkan niat mandi dan hanya makan malam saja. Dari sini kami kembali ke penginapan di Hotel Hineni Tarutung.

Patok kilometer di dekat Hotel Hineni menunjukkan jarak antar kota dari titik patok ini, ke Sibolga (SBG) 68 km, ke Tarutung (TRT) 2 km, dan ke Sipirok (SPK) 72 km.
Turun dari parkir berfoto sebentar, di latar belakang toko tempat menjajakan cindera mata khas batak dan Salib kasih
Berpose di depan pintu masuk Salib Kasih dari kiri Dharma Hutauruk, Maratur boru Hutauruk, Rusli Hutauruk, Priscilla Rosemarie boru Hutauruk, Rita Kartini boru Tobing dan Josaphat Hutauruk 

Jalan cone block dengan pohon yang terawat
Berpose di jalan menurun atau mendaki
Pohon yang menjulang tinggi dalam perjalanan ke Salib Kasih
Hari keempat hari Rabu tanggal 26 Desember pagi setelah sarapan kami berangkat ke Salib Kasih. Kami berganti kendaraan dari bus ke angkot di pertigaan yang menuju ke arah Salib Kasih. Perjalanan sekitar setengah jam hingga tiba di lokasi. Salib Kasih berlokasi di Atas Barita yang dianggap lokasi bersejarah dimana Ompu Nomensen sebagai misi penyebar agama Kristen Protestan di Silindung, pertama kali menatap lembah Silindung dan menetapkannya sebagai ladang pemberitaan sewaktu beliau melihat dari lokasi ini. Memasuki lokasi ini berjejer penjaja cendera mata bertema khas batak dan khususnya Salib Kasih. Kami sempat berfoto di depan tugu Ompu Nomensen. Kami lanjutkan perjalanan dengan mendaki melalui jalan cone block. Pada jalur ini ada sejumlah tempat istirahat dengan papan berisi Perintah Allah yang berurutan dari pertama di bawah hingga kesepuluh di puncaknya atau area Salib Kasih. Di area ini ada bangku untuk ibadah dengan podium menghadap rura silindung dan Salib Kasih menjulang tinggi di belakang area ibadah yang dibuat terbuka. Kami memilih untuk beribadah sendiri dengan mengambil lokasi di rumah doa yang ada di belakang tempat ibadah terbuka tersebut. Setelah beribadah bersama, kami dipersilakan oleh Ny. Indra Hutauruk boru Tobing untuk melakukan ibadah keluarga per keluarga selama lebih kurang 15 menit.

Di lokasi yang diyakini tempat Ompu Nomensen (dari zending Jerman) melihat Ladang Tuhan di Rura Silindung , sekitar tahun 1860 an dalam perjalanannya dari Sibolga.
Salib Kecil di area Salib Kasih di atas batu yang diyakini sebagai  pijakan Ompu Nomensen
Cerita singkat mengaenai pelayanan Ompu Nomensen
Salib Kasih dilatar belakang, undakan tempat duduk untuk ibadah di udara terbuka
Bangku semen untuk ibadah berikut podium semen, dibuat mengikuti kontur  atau sengaja seperti  teater
Ny. Indra Hutauruk boru Tobing memimpin ibadah bersama sebelum  ibadah masing-masing keluarga dalam rumah -rumah doa (sisi kiri) berukuran 3x3 meter
Setelah itu kami pulang kembali ke hotel untuk berkemas dilanjutkan makan siang di Lapo Sona karena siang ini kami akan check out dan berangkat ke Balige dengan tujuan Hotel Ompu Herti. Kami sempatkan mampir ke Pasar Tarutung. Kaum ibu melihat-lihat ulos sementara saya langsung mencari lokasi warung yang menjual kue talam. Saya mampir di warung kue Talam Tobing dan memesan kue talam dengan kopi panas, nikmat sekali. Setelah itu saya bergabung dengan Angkang Dharma yang sedang di warung kue talam Sihombing. Ibu-ibu pun berkumpul disini karena lokasinya dekat pintu masuk, atau di sebelah kanan pintu masuk, sementara lokasi warung Tobing dari warung ini jalan menyebeang selokan ke arah utara. Gerimis mengikuti kami dalam perjalanan ke Balige, kami berhenti sebentar di tengah perjalanan untuk membeli kacang sihoubuk. Kami lanjutkan perjalanan lagi dengan tujuan ke Huta Ginjang untuk melihat pemandangan Danau Toba dari ketinggian. Kami makan kacang kulit, krupuk dan minum cendol hangat. Angkang Boru Napitupulu teringat makanan kesukaannya krupuk waktu remaja dulu. Angin sepoi-sepoi menemani cengkrama kami di sana, hemm ingin mengulangnya kembali. Sekitar 45 menit di Huta Ginjang kami lanjutkan perjalanan ke Balige.
Tarutung yang berarti Durian ada dimana-mana, mau pesta durian datangalah di penghujung tahun , nikmat sekali. Foto diambil di depan Pasar Tarutung dekat kantor pajak
Kaum ibu mencari ulos
Memilih ulos yang terbaik
Priscilla Rosemarie boru Hutauruk berpose dengan latar pintu masuk  Pasar Tarutung 
Paul S Hutauruk berpose sebagai penjaja kue talam di warung Sihombing Pasar Tarutung
Kue talam, kue lapi di warung Tobing Pasar Tarutung
Pesanan saya, Kue Talam dengan Kopi Hitam panas. Super Nikmat! 

Yang tidak pernah akan ada di Tanah Jawa, penjual daging babi kaki lima, ini kufoto sewaktu  kami ganti angkutan dari bus ke angkot dalam perjalanan ke Salib Kasih
Tiba di Balige kami langsung makan malam di Wita café di pinggir Danau Toba. Angin kencang memaksa kami berpindah dari bagian teras ke tengah café. Setelah makan kami check in di Hotel Ompu Herti milik TB. Silalahi. Hotel ini kurang terawat, beberapa sudutan rokok ada di tirai, slot kunci pintu kamar mandi dan pintu kamar pun hilang. Pisau lipat yang saya gunakan untuk dijadikan slot kunci pengaman pintu kamar pun tertinggal sewaktu kami packing untuk melajutkan perjalanan ke Parapat. 

Pemandangan danau Toba dari  Huta Ginjang
Sendor Hangat atau Cendol Hangat di Huta Ginjang karena di Pasar Tarutung tidak ada yang jual
Kerupuk kesukaan Angkang Boru Napitupulu
kacang Sihobuk
Dari kiri ke kanan, Ny. Dharma Hutauruk boru Tobing, Ny. Indra Hutauruk boru Tobing, Ny. Rusli Hutauruk boru Napitupulu sedang bernostalgia dengan krupuk, dan Rita Kartini boru Tobing di Huta Ginjang
Huta Ginjang dari warung kopi paling atas
Huta Ginjang 1550 mdpl
Gereja di sekitar Huta Ginjang
Tanaman yang umum di Sumatera Utara, kopi
Berpose di depan Wita Cafe dari kiri Rita Kartini boru Tobing, Ny. Dharma Hutauruk boru Tobing, dan  Ny. Tiur Gultom boru Hutauruk
        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar