Demikian benang merah yang disampaikan Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Suyono Dikun, Anggota Komisi V DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Rhendy Lamadjido dan Staf Ahli Menteri Pekerjaan Umum, Danang Parikesit dalam diskusi Bedah Buku Konstruksi Indonesia 2011" di Jakarta, Kamis.
Menurut Suyono, dalam tiga tahun ke depan itu adalah masa yang sangat kritis bagi Indonesia karena hanya ada dua opsi yang menghadang, yakni Indonesia mampu membangun infrastruktur strategis secara cepat dan radikal atau kehilangan momentum dan terperangkap dalam kemacetan sangat struktural berkepanjangan.
"Kemacetan itu tak hanya di jalan raya, tetapi juga di kereta api, pelabuhan, lapangan terbang, energi listrik, irigasi, air minum dan lainnya. Ini sangat masif dan akan berdampak sosial ekonomi sangat ekstrim, ekonomi biaya tinggi, logistik mahal, daya saing global menurun, kekacauan politik dan ekonomi, kesenjangan sosial ekonomi yang makin melebar," paparnya.
Jika Indonesia gagal membangun infrastruktur yang lebih modern, berkualitas dan efisien dalam waktu beberapa waktu kedepan, lanjutnya, maka negeri ini akan tertinggal dari bangsa-bangsa lain.
Mantan deputi Menko Perekonomian Bidang Infrastruktur ini juga mengakui bahwa sebenarnya secara kelembagaan, Indonesia sudah merintis percepatan penyelenggaraan infrastruktur melalui Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur (KKPPI) dengan Perpres 81/2003 jo Perpres 42/2005 dan terakhir dengan Perpres 12/2011.
"Perpres 13/2010 tentang public private partnership (PPP) pun telah direvisi dengan Perpres 56/2011. Namun, perjuangan panjang lebih dari 10 tahun terakhir itu, belum juga membuahkan hasil yang menggembirakan," ucapnya.
Senada dengan Suyono, Anggota Komisi V DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Rhendy Lamadjido menyatakan, persetujuannya dengan pendapat bahwa pembangunan infrastruktur Indonesia memasuki fase kritis.
Hal itu, tegasnya, antara lain karena kebijakan dan politik anggaran untuk infrastruktur selama ini ada yang salah.
Ia memberikan contoh, tender proyek-proyek infrastruktur dilakukan mulai Juni-Juli dan baru ditandatangani kontraknya sekitar Agustus dan baru setelah itu anggaran cair.
"Ini dipersulit lagi dengan kegiatan lebaran dan natal. Sementara itu, pencairan dan tahun anggaran dibatasi akhir tahun," ujarnya.
Akibatnya, lanjut Rhendy yang juga Ketua Umum Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional hasil Munas Organisasi itu, wajar jika penyerapan anggaran Kementerian Pekerjaan Umum hingga September hanya 50,8 persen dan masih ada 1.500-an proyek-proyek infrastruktur di lingkungan kementerian itu, terancam tidak terealisasi.
"Sektor ini juga dihadapi para pelaku di lapangan tidak didukung oleh kebijakan bunga lunak, sehingga sudah mendesak pemerintah mempertimbangkan Bank Konstruksi," katanya.
Selain itu, kondisi itu diperparah, kebijakan baru yang bertujuan untuk mempercepat pembangunan infrastruktur seperti PPP dan MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi), ternyata tidak memiliki landasan hukum yang cukup kuat seperti Undang-Undang.
"Wajar, jika investor dalam negeri dan asing, sulit masuk ke proyek-proyek infrastruktur," katanya menegaskan.
Hal penting lainnya, tambah Rhendy, sudah banyak produk Undang-Undang dan peraturan lain yang dikeluarkan tetapi konsistensi pemerintah untuk melaksanakannya sangat minim, seperti UU No 18/1999 tentang Jasa Konstruksi. "Pemerintah belum konsisten. Akibatnya saat ini ada dualisme kepemimpinan di LPJK," katanya.
Tak sesuai
Staf ahli Menteri Pekerjaan Umum, Danang Parikesit berpendapat, apa yang diharapkan pemerintah melalui sejumlah kebijakan untuk mempercepat seperti PPP dan MP3EI, tidak sesuai karena alat untuk mengimplementasikannya di lapangan tidak sesuai dan sulit direalisasikan.
"MP3EI itu awalnya kan hanya gagasan pada November 2009 dan ada istilah koridor ekonomi, tetapi pada Mei-Juni tahun ini, sudah diputuskan sebagai kebijakan, sementara alat dan strategi untuk mewujudkannya belum ada. Nah, baru saat ini, pemerintah mengejarnya," ucapnya, menjelaskan.
Untuk itu, pemerintah perlu mempertegas terkait dengan MP3EI dan PPP itu, yakni apakah sekedar rebranding atau untuk memacu kembali. "Kalau hanya rebranding, ya tidak terlalu soal tanpa dilandasi UU," katanya.
Terkait dengan situasi kritis pembangunan infrastruktur dalam tiga tahun ke depan, Danang menyebutnya, hal itu dalam konteks perbandingan dengan negara lain. "Tetapi secara absolut, infrastruktur Indonesia tumbuh," ujarnya.
Kemudian, dalam konteks pembiayaan infrastruktur yang saat ini peran APBN 30 persen, tambah Danang, atau mengharapkan swasta masuk mendanai 70 persen maka perlu tekad bersama agar proses dan pertanggung jawaban pemanfaatan 30 persen itu secara benar.
"Jika yang 30 persen sudah benar, transparan, `fair` dan seterusnya maka 70 persen dari swasta itu akan datang dengan mudah," demikian Danang.
Sumber:
(E008/C004)
Editor: Suryanto
COPYRIGHT © 2011Kamis, 24 November 2011 17:05 WIB http://www.antaranews.com/berita/286262/infrastruktur-indonesia-hingga-2014-kritis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar