Sabtu, 26 Januari 2013

Tur Mulak Tu Huta / Perjalanan Pulang Kampung, 23 - 29 Desember 2012 (Hari Kelima dan Keenam)




Rumah Ompung Jason Siregar di Onan Raja Balige
Gereja HKBP Balige
Berfoto di depan rumah Ompung Mantri Jan Siregar (ompung dari ibu saya) yang terletak di belakang Pasar Balige
Jajanan khas baatk Lapet dan Ombus-ombus
Angkang Dharma Hutauruk di seberang Pasar Balige. Perhatikan bangunan pasar khas rumah batak.
Hari kelima, Kamis 27 Desember 2012, pagi-pagi bersama Angkang boru Napitupulu (Ny. Rusli Hutauruk), saya pergi ke kota Balige. Kami mengendarai becak motor dan Lae Napitupulu (Ito Angkang boru Napitupulu) yang datang ke Hotel menunjukkan jalan pada pengemudi becak. Kami tiba di losmen milik Ayah angkang boru. Darisana saya diantar Lae Napitupulu mengunjungi rumah Ompung Jason Siregar di daerah Onan Raja dekat gereja HKBP Balige. Dari gereja ke rumah ompung berjarak lebih kurang 300 meter dengan posisi sebelah kanan jalan. Di tengah-tengah ada jalur hijau,dan rumah ompung berhadapan dengan putaran pertama dari arah gereja. Rumah Ompung bertipe kopel, atau dua rumah dengan satu atap, dan dibagian tengah dibatasi pembatas kayu. Bila menghadap rumah, bagian sebelah kiri disewa oleh boru Siahaan bersama keluarganya sementara di sebelah kanan disewa oleh pemudi bersama itonya yang sedang sakit. Rumah kurang terawatt termasuk halaman depan yang tidak berpagar dan tanaman liar yang meranggas. Rumah ini dihuni oleh Ompung Doli (Jason Siregar) dan Ompung Boru (Orthilia boru Pardede) bersama putri dan putra mereka, yang terdiri dari Mariamsa, Rusmin (keduanya inangtua saya), Fredesia (ibu saya), Rumia (Inanguda), dan Tumpal (Tulang). Sepeninggal Ompung Orthilia boru Pardede, Ompung Doli menikah kembali dengan adik ompung boru atau diistilahkan turun ranjang, dan dari ompung boru kedua ini lahirlah Apul (Inanguda) dan Bonar (Tulang). Selain dibesarkan ompung doli dan ompung boru anak-anak ini juga dirawat oleh Namboru mereka yang biasa mereka sebut Namboru Suster. Namboru Suster ini pernah menikah dengan marga Tampubolon tetapi belum sempat memiliki anak, namboru ini dipaksa diceraikan oleh keluarga suaminya yang ingin lekas-lekas memiliki keturunan. Cerita sedih mengenai namboru ibu saya ini diceritakan oleh ibu saya dengan selalu berlinang airmata. Nanti saya akan ceritakan banyak hal terkait dengan namboru ibu saya ini yang selalu disayang oleh anak-anak Ompung Jason. Luas tanah Ompung Jason sekitar 300 meter persegi dan rumahnya bertipe panggung dengan luas sekitar 75 meter persegi. Dari sana kami ke rumah Ompung Mantri Jan, ayah dari Ompung Jason di belakang Pasar Balige. Rumah Ompung Mantri Jan menghadap pasar dengan luas tanah sekitar 1000 meter dan luas rumah 100 meter persegi. Saya sempatkan bertemu dengan penyewa rumah ini.

Gaby boru Gultom, Josaphat Hutauruk, Tiur boru Hutauruk dan Priscilla Rosemarie boru Hutauruk di dermaga depan Hotel Ompu Herti Balige
Pintu masuk makam Raja Sisingamangaraja XII di Soposurung Balige
Makam putra Sisingamangaraja XII
Makam Sisingamangaraja XII 
Sajian di makam Sisingamangaraja XII
Makam putra Sisingamanagaraja XII

Makam keluarga Sisingamangaraja XII termasuk putri nya
Tugu makam keturunan Sisingamangaraja XII
Dari sini kami berangkat dan bertemu dengan Angkang boru Napitupulu di Makam Ompung Napitupulu. Lalu kami kembali ke losmen Napitupulu untuk urusan angkang boru dengan orang yang ditugaskan mengelola losmen tersebut. Selanjutnya kami meluncur ke Pasar Balige, karena angkang boru ingin membeli makanan ringan. Angkang boru membeli lapet dan ombus-ombus di depan pintu masuk pasar dan saya diminta menunggu karena ada yang ingin dia beli dalam pasar. Saya dan Lae Napitupulu duduk dan minum kopi di warung seberang pasar. Tidak lama kemudian Angkang Dharma dan Angkang boru Tobing bergabung minum kopi.
Setelah menunggu angkang boru kembali dari dalam pasar kami pulang ke Hotel Ompu Herti mengendarai becak motor. Tiba disana tas sudah dibereskan dan saya sempatkan sarapan. Selanjutnya kami naik bus yang telah berganti dengan kapasitas menjadi lebih besar. Tujuan kami adalah mengunjungi makam Sisingamangaraja. Terdapat tugu tiga makam menghadap pintu masuk dan makam Sisingamangaraja terletak di tengah. Pada setiap tugu makam terdapat Guci besar dengan beberapa sajen termasuk beberapa batang rokok. Dibalik makam terdapat makam istri dan anak-anak Sisingamangaraja lainnya.

Museum TB Silalahi
Senjata di Museum TB Silalahi
Alat tenun di Museum Batak salah satu bagian dari Museum TB Silalahi
Rumah khas Batak Karo
Josaphat Hutauruk, John Hutauruk dan Priscilla Rosemarie boru Hutauruk di depan contoh perkampungan Batak di Museum TB. Silalahi
Makan durian sebagai hidangan penutup di restoran Asia di Parapat
Kapal milik Toledo Inn mengantar kami dari Parapat langsung ke dermaga Hotel Toledo Inn di Pulau Samosir
Batu Gantung di sisi barat Danau Toba
Kami melanjutkan perjalanan dan tidak jauh dari sana kami tiba di Museum TB Silalahi. Museum ini menampilkan pribadi TB Silalahi dengan segala perlengkapan yang pernah dipakai sewaktu sekolah hingga menjadi Jenderal serta bertugas di luar negeri sebagai duta besar. Di belakang bangunan utama terdapat model rumah batak dari beberapa etnik termasuk Simalungun, Toba dan Karo. Bangunan berikut terdiri dari dua lantai dimana lantai pertama tidak disekat dinding dan terbuka, diisi dengan batu-batu bentukan atau diukir khas batak. Selanjutnya di lantai dua terdapat museum batak dengan detil kategori seperti falsafah, kain, hiasan, alat bercocok tanam, alat perang, alat music, dan lain sebagainya. Darisana kami melanjutkan perjalanan ke Parapat untuk menyeberang ke Pulau Samosir. Kami makan siang di restoran Asia, makan masakan Cina. Setelah makan kami langsung ke kapal milik Toledo Inn tempat kami menginap selama dua malam. Kami sempatkan lewat dekat batu gantung. Cuaca hujan gerimis. Tiba di dermaga Toledo Inn kami disambut para petugas yang siap mengangkut tas kami. Kami langsung ke kamar masing-masing setelah tahu pembagian kamar. Kamar kami menghadap Danau Toba. Kamar terlihat sudah lama tetapi tetap dirawat dengan baik. Tidak ada kegiatan kami sore ini dan kami menunggu hingga makan malam. Kami makan malam bersama di hotel, dan sebelum makan kami sempat berfoto dengan Nantulang boru Simorangkir pemilik hotel ini, istri dari Dokter Luhut Lumbantobing, ito dari Inangtua (istri dari Amangtua Amonius Hutauruk, abang ayah saya). Setelah makan kaum ibu menyempatkan diri belanja dan kami menunggui mereka di meja makan. Setelah kaum ibu kembali kamipun masuk kamar masing-masing untuk istirahat.
Hari keenam, Jumat, 28 Desember  2012 kami berangkat pagi hari dengan mengendarai bus yang kami sewa sehari di Pulau Samosi ini. Lokasi pertama yang kami kunjungi adalah Bukit Doa yang ternyata milik keluarga Tulang Sidabutar, ayah dari Angkang Boru Sidabutar istri dari Angkang Lambertus Hutauruk turunan Ompu Salisi dari Ompung Johanes (ompung nomor satu). Bukit Doa terdiri dari bangunan utama yang terbagi dua ruangan besar seperti aula yang dapat berfungsi sebagai ruang diskusi atau penginapan. Keluar dari bangunan utama terdapat halaman dengan rute perjalanan ke ruang doa dibagian belakang bukit dengan dataran yang lebih tinggi. Terdapat Goa Maria untuk berdoa dan kami lanjutkan perjalanan menyusuri gambar ukiran jalan salib Tuhan Yesus hingga ke  ruang doa dengan patung Tuhan Yesus berdiri tegak di belakang ruang doa. Dekat dengan Goa Maria terdapat pohon durian dengan beberapa buah durian menggantung di sepanjang dahan dan pohon kastubi berdaun merah.

Persiapan sebelum berangkat dengan menggunakan bus di Pulau Samosir
Bukit Doa Getsemani

Bukit Doa Getsemani
Reilief Jalan Salib di Bukit Doa Getsemani Pulau Samosir 
Goa Maria di  Bukit Doa Getsemani Pulau Samosir 
Durian di  Bukit Doa Getsemani Pulau Samosir, nikamt sekali lidah melet-melet hahaha
Durian di  Bukit Doa Getsemani Pulau Samosir, siap menerkam hahahaha
Durian di  Bukit Doa Getsemani Pulau Samosir, hahaha gayanya Sisi 

Rumah Doa di atas bukit di samping Patung Tuhan Yesus

Di Bukit Doa Getsemani Pulau Samosir
Tiket Box Simanindo Pulau Samosir
Tor tor di  Simanindo Pulau Samosir
Penonton ikut serta ber-tor-tor  Tor tor di  Simanindo Pulau Samosir 
Foto dengan Sigale-Gale di  Simanindo Pulau Samosir 

Pintu Masuk  Tor tor di  Simanindo Pulau Samosir 
Dari bukit doa kami menuju Pangururan. Kami menyempatkan menonton tari tor tor di Simanindo dengan membayar tiket masuk sebesar Rp50,000. Musik khas batak mengiringi para penari terdiri dari kaum pria dan wanita. Tarian tor tor dengan latar belakang kehidupan muda mudi batak, proses mejelang menikah, prosesi pernikahan, meminta air, dilanjutkan dengan tari sigale-gale. Para penonton diajak untuk ikut menari dengan beberapa kegarakan yang dilakukan secara berbaris. Setelah selesai kami melanjutkan perjalanan ke Pangururan untuk makan siang.
Makan siang di lapo dengan menu standar saya; nasi, babi panggang, sangsang dan soup. Kami berjumpa dengan Michael Hutauruk anak bungsu dari Angkang Leonidas dengan tangan kanan yang tumbuh kurang sempurna karena pada saat lahir tangan kanannya terjepit mulut rahim dan sulit ditarik. Saya pernah bertemu Michael sewaktu berkunjung ke Tarutung sekitar tahun 2003 atau 9 tahun yang lalu. Saat ini dia baru lulus SMA dan saat ini setelah lulus dari perguruan tinggi bekerja di Dinas Pertanian Pemda Toba Samosir. Setelah makan siang masih di lapo ini, lagi-lagi rombongan makan durian sebagai hidangan penutup J.

Hidangan Penutup makan siang.....Durian
Nikmatnya Durian di Tanah Batak...
Makan siang di Lapo Sagala Pangururan
Michael Hutauruk anak dari Angkang Leonidas Hutauruk menyempatkan diri bertemu dengan kami, datang ke lapo 
Rumah Kahs Batak dengan gorganya yang mulai pudar karena dibangun sekitar awal abad 20
Makam ompung di tengah kampung
Peengrajin ulos
Darah berbicara...langsung akrab begitu tahu satu marga meskipun beda nomor generasi  dan belum pernah bertemu selama hidup
Salah satu perkampungan adat batak di sekitar Simanindo Pulau Samosir
Dari sana kami lanjutkan perjalanan ke desa sekitar Simanindo untuk melihat pengrajin Ulos. Beberapa kaum ibu langsung menyiapkan ulos untuk dijajakan pada kami. Sementara rombongan perempuan melihat ulos saya menyempatkan berkeliling kampung dengan bangunan rumah batak. Tidak lama disana kami melanjutkan perjalanan ke desa Sialagan.
Memasuki desa Sialagan kami melalui lorong yang hanya muat untuk satu orang dewasa. Dalam Kampung Sialagan terdapat bangunan asli batak, juga sopo. Rumah raja yang terletak dekat pohon beringin di tengah kampung di bagian depan terdapat semacam kurungan dengan patung orang ada di dalamnya. Rupanya patung itu diumpamakan sebagai penjahat. Kami dibantu guide yang menjelaskan mengenai motif batak serta sejarah kampung ini. Ada motif payudara sebanyak 4 buah, bahwa perempuan yang bertetek besar akan memiliki banyak anak. Binatang Cicak menyatakan bahwa sejauh mana orang batak merantau harus kenal dengan orang tuanya dan bila meninggal juga harus kembali ke kampung. Pada tiang lumbung terdapat Sigalapan, berbebtuk bundar untuk menghindari tikus. Motif tali-tali gorga melambangkan hubungan kekerabatan, dimana warna putih menunjukkan banua ginjang (sorga), warna merah menunjukkan banua tongah (dataran tempat berpijak) dan warna hitam menunjukkan banua toru (dalam tanah) tempat untuk proses pembusukan. Kegiatan adat menggali kubur atau Mangokal Holi dilaksanakan setelah sekitar 15 tahun setelah dikubur, lalu tengkorak dimasukkan dalam peti dan disimpan dalam bangunan tugu bukan dikubur lagi.
Pintu masuk kampung Sialagan
Rumah Raja Sialagan dengan penjara atau kurungan di bawah depan 
Ruang Pengadilan di kampung Sialagan
Patung dukun di bawah pohon beringin
Sopo difungsikan sebagai lumbung?
Tugu tempat tulang belulang anggota keluarga yang digali dari kubur
Ruang Eksekusi, meja makan di depan, di belakang kiri batu untuk  menelentangkan terhukum, batu untuk pemancungan di sebelah kiri, diatas meja ada kalender batak, parang, serta Tunggal Panaluan (Magic Stick)
Kembali ke penjahat yang dikurung di depan rumah raja ini, biasanya dahulu dipasung selama tujuh hari untuk menunggu hari baik pelaksanaan hukuman, karena umumnya penjahat yang harus dikurung memiliki ilmu hitam (black magic). Para penjahat yang harus dihukum mati oleh raja biasanya karena memerkosa, membunuh, dan berkhianat. Pengadilan dilakukan di ruang terbuka di depan rumah raja. Bangku pada ruang pengadilan besar sementara untuk terdakwa dibuat paling rendah. Untuk menentukan tanggal pelaksanaan hukuman mati dihitung dari kalender batak sebanyak 12 bulan dengan jumlah 30 hari setiap bulannya. Hari baik tersebut juga dilihat dukun dengan berinteraksi pada alam dibawah pohon beringin. Setelah harinya ditentukan, sang dukun dengan pustaha laktat melihat resep anti jimat yang dimiliki si terdakwa, karena selain untuk mengobati ilmu sang dukun juga menguasai untuk mematikan atau membuat sakit. Dalam berkomunikasi dengan alam atau roh, sang dukun menggunakan tongkat panjang yang disebut Tunggal Panaluan atau Magic Stick yang dapat digunakan untuk mendatangkan hujan. Tongkat tersebut terbuat dari kayu yang kena kutuk atau karma dari manusia yang diusir karena malu yang biasanya diakibatkan hubungan seks dalam satu keluarga atau incest, yang dikutuk menjadi pohon (kayu).
Dari ruang pengadilan terbuka kami lanjut ke ruang eksekusi yang juga terbuka. Pada ruang eksekusi terdapat meja dimana si terdakwa sebalum dieksekusi dibeikan makanan yang paling disukainya. Akan tetapi terdakwa makan dengan tangan terikat dan mata ditutup dengan ulos. Kata ulos merupakan singkatan dari Unang Lupaon Sipangingot. Setelah mata ditutup, terdakwa disiksa terlebih dulu, dicoba dengan diseset menggunakan pisau. Apabila darah belum keluar maka dianggap ilmu hitam masih bekerja sehingga harus dipukul dan sang dukun mencari lagi resep anti jimatnya. Kemudian diseset lagi dan bila sudah merasa sakit dan berdarah lalu diberikan asam untuk mempercepat hilangnya ilmu hitam terdakwa. Lalu setelah ilmu hitamnya hilang kepala terdakwa dipenggal dan harus terputus dengan badan, bila tidak putus maka sang algojo harus bertanggung jawab dengan dipancung juga, karena proses persiapan sudah dilaksanakan, dan harus pastikan dulu sebelum hukuman dilaksanakan. Saat kepala dan badan terpisah maka penonton menyambut dengan kata Horas! Horas! Horas! Kemudian hati dan jantung si terhukum diambil dicampur darah dan dimakan oleh raja, dengan tujuan agar kekuatan raja bertambah. Selanjutnya kepala dipasang pada tongkat selama tiga hari dan badan dibuang di Danau Toba dengan tujuan kepala dan badan terhukum tidak boleh bersatu, dan setelah tiga hari kepala terhukum dikubur di hutan. Selama tiga hari itu pula penduduk tidak boleh mengambil air dari Danau Toba. Setelah mendengarkan guide kami melihat cendera mata sepanjang jalan keluar kampung.

Priscilla Rosemarie boru Hutauruk dan Rusli Hutauruk di depan penaja cendera mata di Tomok
Priscilla Rosemarie Hutauruk di tangga ke makam Sidabutar di Tomok, perhatikan cicak dan empat buah payudara
Berfoto meniru patung di kiri dan kanan di Tomok
Salah satu makam Raja Sidabutar di Tomok Pulau Samosir
Makan malam di Hotel Carolina Pulau Samosir 
Kami melanjutkan perjalanan ke kampung Sidabutar di Tomok untuk melihat makam. Sebelum naik kami sempatkan isturahat sambil minum kopi di salah satu café dekat pelabuhan Tomok. Banyak penjaja cindera mata disini, tidak seperti 9 tahun lalu yang belum begitu ramai. Kami membeli beberapa cendera mata disini. Lalu kami lanjutkan perjalanan untuk makan malam. Kami makan malam di Hotel Carolina. Setelah makan kami kembali ke Hotel Toledo Inn dan beristirahat.