Kami
merencanakan mengisi libur Natal dengan pulang kampung ke Tarutung Sumatera
Utara. Ini perjalanan saya yang keempat selama hidup saya. Tidak seperti
saudara kita dari suku lain khususnya Jawa yang selalu pulang kampung pada saat
hari raya idul Fitri. Kebetulan di keluarga saya dari sejak orangtua sayapun
tidak pernah pulang kampung pada libur Natal dan memang jarang pulang kampung
atau singkat kata pulang kampung bukan hal yang terdahulu. Itupun mempengaruhi
kami anak-anaknya menjadikan acara pulang kampung bukanlah hal yang harus
dilakukan dengan rutin.
Pada beberapa
kali libur sekolah anak-anak kadang kami bersaudara sepupu pergi berlibur
bersama atau sekadar jalan-jalan mengunjungi obyek wisata. Darisana timbul ide,
mengapa tidak pulang kampung bersama saudara sepupuan. Akhirnya selama setahun
terakhir kami coba ajak saudara-saudara sepupu dari satu turunan ompung kami
Sintua (St) Josaphat Hutauruk, nama kakek ayah kami. Panitia dibentuk untuk
melakukan persiapan dari pemesanan kendaraan, penginapan, menyiapkan acara di
huta (kampung), obyek wisata yang akan dikunjungi hingga restoran. Acarapun
dilaksanakan dari Minggu 23 Desember hingga Sabtu 29 Desember 2012. Akhirnya peserta
yang terkumpul sebanyak 6 keluarga sementara satu keluarga akan bertemu pada
acara tertentu disana.
|
PesertaPomparan St. Josaphat Hutauruk Generasi Nomor A13 dari kiri kanan Indra Hutauruk, Rusli Hutauruk, Dharma Hutauruk, John Dolok Hutauruk, Paul S Hutauruk dan Rinto Hutauruk. Lokasi di Lobby Hotel JW Marriot Medan. |
|
Seluruh Peserta Tur Hutauruk Dohot Boru Generasi 13 dan 14 dari kiri ke kanan Partogi Israel Hutauruk, Dharma Hutauruk, Ny. Dharma boru Tobing, Ny. Rusli boru Napitupulu, Rusli Hutauruk, Maratur boru Hutauruk, Jane Elizabeth boru Hutauruk, john Dolok Hutauruk, Ny. John D Hutauruk (Maria) boru Siahaan, Josaphat Hutauruk, Paul S Hutauruk, Ny. Paul S Hutauruk (Rita) boru Tobing, Priscilla Rosemarie boru Hutauruk, Ny. Indra Hutauruk boru Tobing, Gabriela boru Gultom, Tiur boru Hutauruk, Indra Hutauruk, dan Rinto Hutauruk (Rinto mengantar saja di Medan) |
Keluarga kami
berangkat dr Jakarta menggunakan pesawat Citilink pukul 06.00 dan tiba pukul 08.00.
Dari bandara Polonia Medan kami naik taxi ke Hotel JW Marriot sebagai titik
kumpul peserta. Begitu tiba di lobby hotel sudah berkumpul saudara sepupuan
hingga kami semua berjumlah total 17 orang, 15 org dewasa dan dua anak kecil.
Setelah bersalam-salaman kamipun berkemas dan berdoa sebelum naik ke dalam bus
3/4 seukuran metro mini yg akan mengantar kami ke Tarutung. Pukul 10.30 kami
berangkat ke Tarutung melalui Deli Serdang dan berhenti utk makan siang di
Pematang Siantar di restoran masakan Cina bernama Jumbo. Selanjutnya kami
melanjutkan perjalanan menuju Parapat. Pemandangan sekitat Pematang Siantar
didominasi kebon kelapa sawit.
|
Danau Toba dari Parapat |
|
Di depan warung kopi bernama Cafe Lalupa |
|
Salah satu sudut Dana Toba dari warung kopi di Parapat |
Danau Toba mulai
terlihat sejalan dengan kendaraan kami mendekati Parapat. Kami semua mengagumi
pemandangan ini. Luar biasa. Untuk lebih memuskan diri kamipun berhenti dan minum
kopi di salah satu kedai kopi yg menghadaap ke Danau Toba. Angin sepoi-sepoi
ditemani kopi panas sungguh nikmat sambil memandang ke arah danau. Sekitar 30 menit
kami istirahat lalu perjalanan dilanjutkan. Pemandangan selanjutnya adalah
hutan, tugu ompung marga, sawah dan kebon durian. Beberapa kali Jalan agak
tersendat kaarena tanah longsor sehingga satu jalur diantri untuk kedua arah.
|
Narsis di depan Danau Toba hehehe |
Hari sudah larut
malam ketika kami tiba di Tarutung dan makan malam di Restoran Sukaria Tarutung
sekitar pukul 21.30, dimana sebetulnya restoran tersebut sudah tutup tetapi karena
kami sudah pastikan akan datang, maka merekapun menunggu. Resto ini juga
menyuguhkan makanan masakan Cina. Saya dan Togi sempat berputar untu mencari
televisi di restoran atau warung sekitar yang memutar siaran langsung
pertandingan Barclay Premier League antara Manchester United tandang melawan tuan
rumah Swansea City, tetapi sayang tidak ada yang memutarnya atau memang tidak
disiarkan secara langsung. Setelah makan kami berangkat menuju Hotel Hineni,
milik Bernis Hutauruk dgn boru Hutabarat yang berlokasi sekitar 1 km dari pusat
kota atau sungai Aek Sigeaon.
|
Berfoto sebelum menyeberang Sungai Aek Sigeaon, pinggir jalan lintas Tarutung Sibolga Sipirok, patokan ke huta kami ada plang gereja HKBP Lumban Soit Sipoholon, ke arah belakang (Timur atau hulu) dan ke depan (Barat atau Kota Tarutung lebih kurang 2 km) |
|
Berfoto di depan papan nama Gereja HKBP Lumban Soit Sipoholon |
|
Berfoto diatas jembatan kayu di atas Sungai Aek Sigeaon selebar lebih kurang 50 meter, di latar belakang adalah pintu masuk huta kami |
|
Aek Sigeaon yang tenang menghanyutkan |
Keesokan harinya
kami ke berangkat ke Hutabagasan Sipoholon untuk melihat persiapan lokasi acara
memberi makan siang penduduk kampung pada esok hari. Bus diparkir dipinggir jalan
di depan rumah amangtua JP dan kami menyeberang jalan, naik tangga untuk
menyeberangi sungai Aek Sigeaon yang memiliki lebar lebih kurang 50 meter.
Jembatan dengan lebar sekitar 1.5 meter, dengan landasan kayu papan pada
beberapa titik sudah miring ke arah hilir dan berlubang karena papan kayu
lepas. Jembatan ini salah satu akses menuju kampung kami miring akibat pondasi
terhantam batang pohon yang terbawa arus sungai beberapa waktu lalu, sementara
jembatan yang menuju seminari terletak lebih ke barat sudah roboh dan tidak
bisa dilalui. Sebenarnya ada akses dengan kendaraan roda empat menuju kampung
kami lewat darat atau lewat kota, tetapi karena ada beberpa acara keluarga
sehingga bus kami tidak bisa masuk.
|
Ito boru Sinambela, Rita Kartini boru Tobing, Priscilla Rosemarie boru Hutauruk dan Dharma Hutauruk dalam perjalanan antara kampung dan jembatan |
|
Rumah tua dalam sebelah kiri arah kampung dari jembatan |
|
Makam Ompu Salisi yang dahulu berupa Pohon Beringin |
|
Salah satu bunga-buangaan di makam dekat jalan ke huta |
|
Gereja Katolik pertama di Tarutung di kampung kami |
Tiba di
seberang, jalan berbatu tidak beraspal. Sekitar limapuluh meter dari jembatan
kami melihat sebentar makam yang diakui sebagai makam Ompung Salisi Hutauruk,
generasi ke-9 yang sewaktu saya berkunjung pada 2003 masih dalam bentuk pohon
beringin dan sekarang pohon tersebut sudah ditebang. Kami lanjutkan perjalanan
dan mellewati Gereja Katolik yang dianggap pertama di Tarutung, dan beberapa
saudara kami turunan dari ompung generasi 10, abang dari ompung kami St.
Josaphat, beragama Katolik. Abang Leonidas anak amangtua JP yang bertemu kami
di jembatan Aek Sigeaon bersama Ito boru Sinambela keturunan dari saudara
perempuan satu satunya kakek saya atau Namboru ayah saya menjadi penujuk jalan
kami. Selanjutnya kami berjalan terus ke huta bagasan, disitu kami bertemu
Amanguda Sakti Hutauruk generasi 12 seangkatan ayah saya dari turunan kakek
kami nomor tiga Pendeta Melanthon Hutauruk sementara ompung kami Guru Kladius
Hutauruk adalah anak pertama.
|
Melipir ke semak karena jalan menuju ke pemakaman ompung berlobang dan tergenang air |
|
Berfoto di depan makam ompung Guru Kladius Hutauruk dan St. Josaphat, kompleks makam cukup padat |
|
Makam Amangtua JP dan Inangtua boru Tobing dikunjungi keturunannya berdiri dari kiri kanan belakang Rusli Hutauruk (anak lelaki pertama), Dharma Hutauruk (anak lelaki kelima), Israel Partogi Huturuk (cucu dari Dharma Hutauruk), Ny. Dharma Hutauruk, Ny. Rusli Hutauruk, Leonidas Hutauruk (anak lelaki ketiga) dan duduk di depan Maratur boru Hutauruk (anak perempuan Rusli Hutauruk) |
Setelah
memastikan undangan, tenda, makanan telah siap utk besok, selanjutnya kemi
menuju makam nenek moyang kami yg berada di bukit belakang kampung kami, dgn
berjalan kaki sekita 20menit. Jalan masih dari tanah yang berlobang-lobang dengan
genangan air akibat hujan malam sebelumnya membuat kami harus melipir ke
semak-semak. Jalan naik mendekati makam licin karena disemen rata dan berlumut.
Beberapa kali sepatu slip karena selain licin akibat hujan juga karena
berlumut. Tiba di makam segera kami membersihkan makam kakek nenek kami, Guru
Kladius Hutauruk (generasi 11) dan Wilhelmina boru Tobing lalu makam kakek
nenek ayah saya Josaphat Hutauruk (generasi 10) dgn Maria boru Parapat.
Selanjutnya sebagian dari sepupu membersihkan makam amangtua dan inangtua JP
orangtua mereka. Setelah itu kami berdoa dipimpin oleh Abang Indra Hutauruk,
mencuci muka dan dilanjutkan dgn foto bersama.
|
Lapo Bintatar di Pearaja Taurutung, perhatikan aksara batak dengan teks yang dihias, anak pemiliknya seniman seni lukis |
|
Menu standar lapo panggang (sudah hampir habis), ikan mas arsik, sup, sangsang, dan susu horbo (kerbau) berwarna kuning di piring nasi |
|
Paduan suara boru-boru Tobing di Sumur menyanyikan dua lagu gerejawi |
|
Foto bersama di depan rumah salah satu lae saya, bersama lae, inangbao, boru dan maen di Sumur Tarutung |
Tidak
lama disana kamipun pulang dan makan siang di Lapo (warung makan) Bintatar yang
seperti lapo lainnya menyuguhkan masakan khas Batak yang umumnya terdiri dari
Sangsang, Panggang, Arsik,Susu Horbo dan tuak.Setelah makan siang kamipun
bergegas mengunjungi saudara masing-masing dari pihak Tulang atau Hula-hula
(ipar) atau Bona Tulang (ipar kakek). Kami berkunjung ke Hula-hula dan Bona
Tulang kami, keluarga Lumban Tobing Ompu Rajaingan di Sumur Tarutung. Disana
kami bertemu dengan saudara-saudara keturunan saudara laki-laki nenek saya dari
ayah. Meskipun kami jarang bertemu, dari semua yang kami jumpai saat itu
sebagian besar pernah kami jumpai sekali dua kali, tetapi karena hubungan batin
atas darah yang mengalir pada diri kami menjadikan kami merasa dekat sekali.
Mereka ramah sekali menerima kami. Tak lupa kami membagikan beberapa helai
pakaian batik sebagai oleh-oleh untuk para bapak dan tas untuk para ibu
segenerasi saya dan ipar saya. Sebelum pulang kami dinyanyikan lagu gereja oleh
anak-anak yang umumnya perempuan dan membagikan hadiah uang sekedarnya, juga
untuk dua orang ipar saya yang sedang sakit. Setelah dari Sumur kami menjemput
beberapa saudara yang mengunjungi tulang dan hula-hula mereka di Huta Baginda.
Selanjutnya kami kembali ke hotel untuk istirahat dan mempersiapkan menghadiri
malam Natal di Gereja Pusat HKBP Pearaja Tarutung pukul 19.00.
|
Gereja HKBP Pusat di Pearaja didirikan tahun 1864 oleh misi penyebar agama Kristen Protestan di Rura Silindung Tarutung Ompu Nomensen seorang warga negara Jerman |
|
Bagian dalam Gereja HKBP Pusat Pearaja dari pintu utama, gereja dengan lay out T dengan balkon kayu di setiap sudut/sisinya, kami duduk disamping kiri dibawah balkon |
|
Bagian dalam gereja dari podium ke arah pintu utama |
|
Berfoto dekat mimbar setelah ibadah Malam Natal dan Perjamuan Kudus |
|
Berfoto di depan Pohon Natal |
Kami
tiba di gereja lebih kurang setengah jam sebelum dimulai, dan kami menempati
posisi di sisi kiri mengahadap podium. Pendeta yang membawakan firman adalah
pendeta Kardi Simanjuntak, preses HKBP, yang pernah menjadi pendeta resort di
HKBP Jalan Jambu Menteng Jakarta Pusat. Acara berlangsung hikmat meski tanpa
nyalakan lilin malam kudus seperti yang umum dilakukan. Setelah ibadah Natal
masih dalam rangkaian acara kamipun yang sudah akil balik dan menerima sidi
bersiap menerima roti dan anggur perjamuan kudus dengan maju ke podium. Sehingga
dua kali kami maju ke depan yang pertama untuk menyerahkan kolekte dan kedua
untuk menerima perjamuan kudus. Acara kebaktian selesai sekitar pukul 21.00,
kamipun menyempatkan diri berfoto di depan pohon Natal dan setelah itu kami
berangkat untuk makan malam di Restoran Sukaria. Setelah makan kamipun pulang
kembali ke Hotel Nineni, itulah cerit perjalanan kami hari pertama dan kedua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar