Rabu, 09 Januari 2013

Tur Mulak Tu Huta / Perjalanan Pulang Kampung, 23 - 29 Desember 2012 (Hari Pertama dan Kedua)


Kami merencanakan mengisi libur Natal dengan pulang kampung ke Tarutung Sumatera Utara. Ini perjalanan saya yang keempat selama hidup saya. Tidak seperti saudara kita dari suku lain khususnya Jawa yang selalu pulang kampung pada saat hari raya idul Fitri. Kebetulan di keluarga saya dari sejak orangtua sayapun tidak pernah pulang kampung pada libur Natal dan memang jarang pulang kampung atau singkat kata pulang kampung bukan hal yang terdahulu. Itupun mempengaruhi kami anak-anaknya menjadikan acara pulang kampung bukanlah hal yang harus dilakukan dengan rutin.
Pada beberapa kali libur sekolah anak-anak kadang kami bersaudara sepupu pergi berlibur bersama atau sekadar jalan-jalan mengunjungi obyek wisata. Darisana timbul ide, mengapa tidak pulang kampung bersama saudara sepupuan. Akhirnya selama setahun terakhir kami coba ajak saudara-saudara sepupu dari satu turunan ompung kami Sintua (St) Josaphat Hutauruk, nama kakek ayah kami. Panitia dibentuk untuk melakukan persiapan dari pemesanan kendaraan, penginapan, menyiapkan acara di huta (kampung), obyek wisata yang akan dikunjungi hingga restoran. Acarapun dilaksanakan dari Minggu 23 Desember hingga Sabtu 29 Desember 2012. Akhirnya peserta yang terkumpul sebanyak 6 keluarga sementara satu keluarga akan bertemu pada acara tertentu disana.

PesertaPomparan St. Josaphat Hutauruk Generasi Nomor A13 dari kiri kanan  Indra Hutauruk, Rusli Hutauruk, Dharma Hutauruk, John Dolok Hutauruk, Paul S Hutauruk dan Rinto Hutauruk. Lokasi di Lobby Hotel JW Marriot Medan.
Seluruh Peserta Tur Hutauruk Dohot Boru Generasi 13 dan 14 dari kiri ke kanan  Partogi Israel Hutauruk, Dharma Hutauruk, Ny. Dharma boru Tobing, Ny. Rusli boru Napitupulu, Rusli Hutauruk, Maratur boru Hutauruk, Jane Elizabeth boru Hutauruk, john Dolok Hutauruk, Ny. John D Hutauruk (Maria) boru Siahaan, Josaphat Hutauruk, Paul S Hutauruk, Ny. Paul S Hutauruk (Rita) boru Tobing, Priscilla Rosemarie boru Hutauruk, Ny. Indra Hutauruk boru Tobing, Gabriela boru Gultom, Tiur boru Hutauruk, Indra Hutauruk, dan Rinto Hutauruk (Rinto mengantar saja di Medan) 
Keluarga kami berangkat dr Jakarta menggunakan pesawat Citilink pukul 06.00 dan tiba pukul 08.00. Dari bandara Polonia Medan kami naik taxi ke Hotel JW Marriot sebagai titik kumpul peserta. Begitu tiba di lobby hotel sudah berkumpul saudara sepupuan hingga kami semua berjumlah total 17 orang, 15 org dewasa dan dua anak kecil. Setelah bersalam-salaman kamipun berkemas dan berdoa sebelum naik ke dalam bus 3/4 seukuran metro mini yg akan mengantar kami ke Tarutung. Pukul 10.30 kami berangkat ke Tarutung melalui Deli Serdang dan berhenti utk makan siang di Pematang Siantar di restoran masakan Cina bernama Jumbo. Selanjutnya kami melanjutkan perjalanan menuju Parapat. Pemandangan sekitat Pematang Siantar didominasi kebon kelapa sawit.
Danau Toba dari Parapat
Di depan warung kopi bernama Cafe Lalupa
Salah satu sudut Dana Toba dari warung kopi  di Parapat
           Danau Toba mulai terlihat sejalan dengan kendaraan kami mendekati Parapat. Kami semua mengagumi pemandangan ini. Luar biasa. Untuk lebih memuskan diri kamipun berhenti dan minum kopi di salah satu kedai kopi yg menghadaap ke Danau Toba. Angin sepoi-sepoi ditemani kopi panas sungguh nikmat sambil memandang ke arah danau. Sekitar 30 menit kami istirahat lalu perjalanan dilanjutkan. Pemandangan selanjutnya adalah hutan, tugu ompung marga, sawah dan kebon durian. Beberapa kali Jalan agak tersendat kaarena tanah longsor sehingga satu jalur diantri untuk kedua arah.
Narsis di depan Danau Toba hehehe

Hari sudah larut malam ketika kami tiba di Tarutung dan makan malam di Restoran Sukaria Tarutung sekitar pukul 21.30, dimana sebetulnya restoran tersebut sudah tutup tetapi karena kami sudah pastikan akan datang, maka merekapun menunggu. Resto ini juga menyuguhkan makanan masakan Cina. Saya dan Togi sempat berputar untu mencari televisi di restoran atau warung sekitar yang memutar siaran langsung pertandingan Barclay Premier League antara Manchester United tandang melawan tuan rumah Swansea City, tetapi sayang tidak ada yang memutarnya atau memang tidak disiarkan secara langsung. Setelah makan kami berangkat menuju Hotel Hineni, milik Bernis Hutauruk dgn boru Hutabarat yang berlokasi sekitar 1 km dari pusat kota atau sungai Aek Sigeaon.
Berfoto sebelum menyeberang Sungai Aek Sigeaon, pinggir jalan lintas  Tarutung  Sibolga Sipirok, patokan ke huta kami ada plang gereja HKBP Lumban Soit Sipoholon, ke arah belakang (Timur atau hulu) dan ke depan (Barat atau Kota Tarutung lebih kurang 2 km)
Berfoto di depan papan nama Gereja HKBP Lumban Soit Sipoholon
Berfoto diatas jembatan kayu di atas Sungai Aek Sigeaon selebar lebih kurang 50 meter, di latar belakang adalah pintu masuk huta kami 
Aek Sigeaon yang tenang menghanyutkan 
Keesokan harinya kami ke berangkat ke Hutabagasan Sipoholon untuk melihat persiapan lokasi acara memberi makan siang penduduk kampung pada esok hari. Bus diparkir dipinggir jalan di depan rumah amangtua JP dan kami menyeberang jalan, naik tangga untuk menyeberangi sungai Aek Sigeaon yang memiliki lebar lebih kurang 50 meter. Jembatan dengan lebar sekitar 1.5 meter, dengan landasan kayu papan pada beberapa titik sudah miring ke arah hilir dan berlubang karena papan kayu lepas. Jembatan ini salah satu akses menuju kampung kami miring akibat pondasi terhantam batang pohon yang terbawa arus sungai beberapa waktu lalu, sementara jembatan yang menuju seminari terletak lebih ke barat sudah roboh dan tidak bisa dilalui. Sebenarnya ada akses dengan kendaraan roda empat menuju kampung kami lewat darat atau lewat kota, tetapi karena ada beberpa acara keluarga sehingga bus kami tidak bisa masuk.

Ito boru Sinambela, Rita Kartini boru Tobing, Priscilla Rosemarie boru Hutauruk dan Dharma Hutauruk  dalam perjalanan antara kampung dan jembatan
Rumah tua dalam sebelah kiri arah kampung dari jembatan
Makam Ompu Salisi yang dahulu berupa Pohon Beringin
Salah satu bunga-buangaan di makam dekat jalan ke huta
Gereja Katolik pertama di Tarutung di kampung kami
Tiba di seberang, jalan berbatu tidak beraspal. Sekitar limapuluh meter dari jembatan kami melihat sebentar makam yang diakui sebagai makam Ompung Salisi Hutauruk, generasi ke-9 yang sewaktu saya berkunjung pada 2003 masih dalam bentuk pohon beringin dan sekarang pohon tersebut sudah ditebang. Kami lanjutkan perjalanan dan mellewati Gereja Katolik yang dianggap pertama di Tarutung, dan beberapa saudara kami turunan dari ompung generasi 10, abang dari ompung kami St. Josaphat, beragama Katolik. Abang Leonidas anak amangtua JP yang bertemu kami di jembatan Aek Sigeaon bersama Ito boru Sinambela keturunan dari saudara perempuan satu satunya kakek saya atau Namboru ayah saya menjadi penujuk jalan kami. Selanjutnya kami berjalan terus ke huta bagasan, disitu kami bertemu Amanguda Sakti Hutauruk generasi 12 seangkatan ayah saya dari turunan kakek kami nomor tiga Pendeta Melanthon Hutauruk sementara ompung kami Guru Kladius Hutauruk adalah anak pertama.
Melipir ke semak karena jalan menuju ke pemakaman ompung  berlobang dan tergenang air
Berfoto di depan makam ompung Guru Kladius Hutauruk dan St. Josaphat, kompleks makam cukup padat
Makam Amangtua JP dan Inangtua boru Tobing dikunjungi keturunannya berdiri dari kiri kanan belakang  Rusli Hutauruk  (anak lelaki pertama), Dharma Hutauruk (anak lelaki kelima), Israel Partogi Huturuk (cucu dari Dharma Hutauruk), Ny. Dharma Hutauruk, Ny. Rusli Hutauruk, Leonidas Hutauruk (anak lelaki ketiga) dan duduk di depan Maratur boru Hutauruk (anak perempuan Rusli Hutauruk)
Setelah memastikan undangan, tenda, makanan telah siap utk besok, selanjutnya kemi menuju makam nenek moyang kami yg berada di bukit belakang kampung kami, dgn berjalan kaki sekita 20menit. Jalan masih dari tanah yang berlobang-lobang dengan genangan air akibat hujan malam sebelumnya membuat kami harus melipir ke semak-semak. Jalan naik mendekati makam licin karena disemen rata dan berlumut. Beberapa kali sepatu slip karena selain licin akibat hujan juga karena berlumut. Tiba di makam segera kami membersihkan makam kakek nenek kami, Guru Kladius Hutauruk (generasi 11) dan Wilhelmina boru Tobing lalu makam kakek nenek ayah saya Josaphat Hutauruk (generasi 10) dgn Maria boru Parapat. Selanjutnya sebagian dari sepupu membersihkan makam amangtua dan inangtua JP orangtua mereka. Setelah itu kami berdoa dipimpin oleh Abang Indra Hutauruk, mencuci muka dan dilanjutkan dgn foto bersama.
Lapo Bintatar di Pearaja Taurutung, perhatikan aksara batak dengan teks yang dihias, anak pemiliknya seniman  seni lukis
Menu standar lapo panggang (sudah hampir habis), ikan mas arsik, sup, sangsang, dan susu horbo (kerbau) berwarna kuning di piring nasi
Paduan suara boru-boru Tobing di Sumur menyanyikan dua lagu gerejawi
Foto bersama di depan rumah salah satu lae saya, bersama lae, inangbao, boru dan maen di Sumur Tarutung
Tidak lama disana kamipun pulang dan makan siang di Lapo (warung makan) Bintatar yang seperti lapo lainnya menyuguhkan masakan khas Batak yang umumnya terdiri dari Sangsang, Panggang, Arsik,Susu Horbo dan tuak.Setelah makan siang kamipun bergegas mengunjungi saudara masing-masing dari pihak Tulang atau Hula-hula (ipar) atau Bona Tulang (ipar kakek). Kami berkunjung ke Hula-hula dan Bona Tulang kami, keluarga Lumban Tobing Ompu Rajaingan di Sumur Tarutung. Disana kami bertemu dengan saudara-saudara keturunan saudara laki-laki nenek saya dari ayah. Meskipun kami jarang bertemu, dari semua yang kami jumpai saat itu sebagian besar pernah kami jumpai sekali dua kali, tetapi karena hubungan batin atas darah yang mengalir pada diri kami menjadikan kami merasa dekat sekali. Mereka ramah sekali menerima kami. Tak lupa kami membagikan beberapa helai pakaian batik sebagai oleh-oleh untuk para bapak dan tas untuk para ibu segenerasi saya dan ipar saya. Sebelum pulang kami dinyanyikan lagu gereja oleh anak-anak yang umumnya perempuan dan membagikan hadiah uang sekedarnya, juga untuk dua orang ipar saya yang sedang sakit. Setelah dari Sumur kami menjemput beberapa saudara yang mengunjungi tulang dan hula-hula mereka di Huta Baginda. Selanjutnya kami kembali ke hotel untuk istirahat dan mempersiapkan menghadiri malam Natal di Gereja Pusat HKBP Pearaja Tarutung pukul 19.00.
Gereja HKBP Pusat di Pearaja didirikan tahun 1864 oleh misi penyebar agama Kristen Protestan di Rura Silindung Tarutung Ompu Nomensen seorang warga negara Jerman 
Bagian dalam Gereja HKBP Pusat Pearaja dari pintu utama, gereja dengan lay out T dengan balkon kayu di setiap sudut/sisinya, kami duduk disamping kiri dibawah balkon
Bagian dalam gereja dari podium ke arah pintu utama 
Berfoto dekat mimbar setelah ibadah Malam Natal dan Perjamuan Kudus
Berfoto di depan Pohon Natal
Kami tiba di gereja lebih kurang setengah jam sebelum dimulai, dan kami menempati posisi di sisi kiri mengahadap podium. Pendeta yang membawakan firman adalah pendeta Kardi Simanjuntak, preses HKBP, yang pernah menjadi pendeta resort di HKBP Jalan Jambu Menteng Jakarta Pusat. Acara berlangsung hikmat meski tanpa nyalakan lilin malam kudus seperti yang umum dilakukan. Setelah ibadah Natal masih dalam rangkaian acara kamipun yang sudah akil balik dan menerima sidi bersiap menerima roti dan anggur perjamuan kudus dengan maju ke podium. Sehingga dua kali kami maju ke depan yang pertama untuk menyerahkan kolekte dan kedua untuk menerima perjamuan kudus. Acara kebaktian selesai sekitar pukul 21.00, kamipun menyempatkan diri berfoto di depan pohon Natal dan setelah itu kami berangkat untuk makan malam di Restoran Sukaria. Setelah makan kamipun pulang kembali ke Hotel Nineni, itulah cerit perjalanan kami hari pertama dan kedua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar