|
Rumah Ompung Jason Siregar di Onan Raja Balige |
|
Gereja HKBP Balige |
|
Berfoto di depan rumah Ompung Mantri Jan Siregar (ompung dari ibu saya) yang terletak di belakang Pasar Balige |
|
Jajanan khas baatk Lapet dan Ombus-ombus |
|
Angkang Dharma Hutauruk di seberang Pasar Balige. Perhatikan bangunan pasar khas rumah batak. |
Hari kelima, Kamis 27 Desember
2012, pagi-pagi bersama Angkang boru Napitupulu (Ny. Rusli Hutauruk), saya
pergi ke kota Balige. Kami mengendarai becak motor dan Lae Napitupulu (Ito
Angkang boru Napitupulu) yang datang ke Hotel menunjukkan jalan pada pengemudi
becak. Kami tiba di losmen milik Ayah angkang boru. Darisana saya diantar Lae
Napitupulu mengunjungi rumah Ompung Jason Siregar di daerah Onan Raja dekat gereja
HKBP Balige. Dari gereja ke rumah ompung berjarak lebih kurang 300 meter dengan
posisi sebelah kanan jalan. Di tengah-tengah ada jalur hijau,dan rumah ompung
berhadapan dengan putaran pertama dari arah gereja. Rumah Ompung bertipe kopel,
atau dua rumah dengan satu atap, dan dibagian tengah dibatasi pembatas kayu.
Bila menghadap rumah, bagian sebelah kiri disewa oleh boru Siahaan bersama
keluarganya sementara di sebelah kanan disewa oleh pemudi bersama itonya yang
sedang sakit. Rumah kurang terawatt termasuk halaman depan yang tidak berpagar
dan tanaman liar yang meranggas. Rumah ini dihuni oleh Ompung Doli (Jason
Siregar) dan Ompung Boru (Orthilia boru Pardede) bersama putri dan putra
mereka, yang terdiri dari Mariamsa, Rusmin (keduanya inangtua saya), Fredesia
(ibu saya), Rumia (Inanguda), dan Tumpal (Tulang). Sepeninggal Ompung Orthilia
boru Pardede, Ompung Doli menikah kembali dengan adik ompung boru atau
diistilahkan turun ranjang, dan dari ompung boru kedua ini lahirlah Apul
(Inanguda) dan Bonar (Tulang). Selain dibesarkan ompung doli dan ompung boru
anak-anak ini juga dirawat oleh Namboru mereka yang biasa mereka sebut Namboru
Suster. Namboru Suster ini pernah menikah dengan marga Tampubolon tetapi belum
sempat memiliki anak, namboru ini dipaksa diceraikan oleh keluarga suaminya
yang ingin lekas-lekas memiliki keturunan. Cerita sedih mengenai namboru ibu
saya ini diceritakan oleh ibu saya dengan selalu berlinang airmata. Nanti saya
akan ceritakan banyak hal terkait dengan namboru ibu saya ini yang selalu
disayang oleh anak-anak Ompung Jason. Luas tanah Ompung Jason sekitar 300 meter
persegi dan rumahnya bertipe panggung dengan luas sekitar 75 meter persegi. Dari sana kami ke rumah Ompung Mantri Jan, ayah dari Ompung
Jason di belakang Pasar Balige. Rumah Ompung Mantri Jan menghadap pasar dengan
luas tanah sekitar 1000 meter dan luas rumah 100 meter persegi. Saya sempatkan
bertemu dengan penyewa rumah ini.
|
Gaby boru Gultom, Josaphat Hutauruk, Tiur boru Hutauruk dan Priscilla Rosemarie boru Hutauruk di dermaga depan Hotel Ompu Herti Balige |
|
Pintu masuk makam Raja Sisingamangaraja XII di Soposurung Balige |
|
Makam putra Sisingamangaraja XII |
|
Makam Sisingamangaraja XII |
|
Sajian di makam Sisingamangaraja XII |
|
Makam putra Sisingamanagaraja XII |
|
Makam keluarga Sisingamangaraja XII termasuk putri nya |
|
Tugu makam keturunan Sisingamangaraja XII |
Dari sini kami berangkat dan
bertemu dengan Angkang boru Napitupulu di Makam Ompung Napitupulu. Lalu kami
kembali ke losmen Napitupulu untuk urusan angkang boru dengan orang yang
ditugaskan mengelola losmen tersebut. Selanjutnya kami meluncur ke Pasar
Balige, karena angkang boru ingin membeli makanan ringan. Angkang boru membeli
lapet dan ombus-ombus di depan pintu masuk pasar dan saya diminta menunggu
karena ada yang ingin dia beli dalam pasar. Saya dan Lae Napitupulu duduk dan
minum kopi di warung seberang pasar. Tidak lama kemudian Angkang Dharma dan
Angkang boru Tobing bergabung minum kopi.
Setelah menunggu angkang boru
kembali dari dalam pasar kami pulang ke Hotel Ompu Herti mengendarai becak
motor. Tiba disana tas sudah dibereskan dan saya sempatkan sarapan. Selanjutnya
kami naik bus yang telah berganti dengan kapasitas menjadi lebih besar. Tujuan
kami adalah mengunjungi makam Sisingamangaraja. Terdapat tugu tiga makam
menghadap pintu masuk dan makam Sisingamangaraja terletak di tengah. Pada
setiap tugu makam terdapat Guci besar dengan beberapa sajen termasuk beberapa
batang rokok. Dibalik makam terdapat makam istri dan anak-anak Sisingamangaraja
lainnya.
|
Museum TB Silalahi |
|
Senjata di Museum TB Silalahi |
|
Alat tenun di Museum Batak salah satu bagian dari Museum TB Silalahi |
|
Rumah khas Batak Karo |
|
Josaphat Hutauruk, John Hutauruk dan Priscilla Rosemarie boru Hutauruk di depan contoh perkampungan Batak di Museum TB. Silalahi |
|
Makan durian sebagai hidangan penutup di restoran Asia di Parapat |
|
Kapal milik Toledo Inn mengantar kami dari Parapat langsung ke dermaga Hotel Toledo Inn di Pulau Samosir |
|
Batu Gantung di sisi barat Danau Toba |
Kami melanjutkan perjalanan dan
tidak jauh dari sana kami tiba di Museum TB Silalahi. Museum ini menampilkan
pribadi TB Silalahi dengan segala perlengkapan yang pernah dipakai sewaktu
sekolah hingga menjadi Jenderal serta bertugas di luar negeri sebagai duta
besar. Di belakang bangunan utama terdapat model rumah batak dari beberapa
etnik termasuk Simalungun, Toba dan Karo. Bangunan berikut terdiri dari dua
lantai dimana lantai pertama tidak disekat dinding dan terbuka, diisi dengan batu-batu
bentukan atau diukir khas batak. Selanjutnya di lantai dua terdapat museum
batak dengan detil kategori seperti falsafah, kain, hiasan, alat bercocok
tanam, alat perang, alat music, dan lain sebagainya. Darisana kami melanjutkan
perjalanan ke Parapat untuk menyeberang ke Pulau Samosir. Kami makan siang di
restoran Asia, makan masakan Cina. Setelah makan kami langsung ke kapal milik
Toledo Inn tempat kami menginap selama dua malam. Kami sempatkan lewat dekat
batu gantung. Cuaca hujan gerimis. Tiba di dermaga Toledo Inn kami disambut
para petugas yang siap mengangkut tas kami. Kami langsung ke kamar
masing-masing setelah tahu pembagian kamar. Kamar kami menghadap Danau Toba.
Kamar terlihat sudah lama tetapi tetap dirawat dengan baik. Tidak ada kegiatan
kami sore ini dan kami menunggu hingga makan malam. Kami makan malam bersama di
hotel, dan sebelum makan kami sempat berfoto dengan Nantulang boru Simorangkir
pemilik hotel ini, istri dari Dokter Luhut Lumbantobing, ito dari Inangtua
(istri dari Amangtua Amonius Hutauruk, abang ayah saya). Setelah makan kaum ibu
menyempatkan diri belanja dan kami menunggui mereka di meja makan. Setelah kaum
ibu kembali kamipun masuk kamar masing-masing untuk istirahat.
Hari keenam, Jumat, 28
Desember 2012 kami berangkat pagi hari
dengan mengendarai bus yang kami sewa sehari di Pulau Samosi ini. Lokasi
pertama yang kami kunjungi adalah Bukit Doa yang ternyata milik keluarga Tulang
Sidabutar, ayah dari Angkang Boru Sidabutar istri dari Angkang Lambertus
Hutauruk turunan Ompu Salisi dari Ompung Johanes (ompung nomor satu). Bukit Doa
terdiri dari bangunan utama yang terbagi dua ruangan besar seperti aula yang
dapat berfungsi sebagai ruang diskusi atau penginapan. Keluar dari bangunan
utama terdapat halaman dengan rute perjalanan ke ruang doa dibagian belakang
bukit dengan dataran yang lebih tinggi. Terdapat Goa Maria untuk berdoa dan
kami lanjutkan perjalanan menyusuri gambar ukiran jalan salib Tuhan Yesus
hingga ke ruang doa dengan patung Tuhan
Yesus berdiri tegak di belakang ruang doa. Dekat dengan Goa Maria terdapat
pohon durian dengan beberapa buah durian menggantung di sepanjang dahan dan
pohon kastubi berdaun merah.
|
Persiapan sebelum berangkat dengan menggunakan bus di Pulau Samosir |
|
Bukit Doa Getsemani |
|
Bukit Doa Getsemani |
|
Reilief Jalan Salib di Bukit Doa Getsemani Pulau Samosir |
|
Goa Maria di
Bukit Doa Getsemani Pulau Samosir |
|
Durian di
Bukit Doa Getsemani Pulau Samosir, nikamt sekali lidah melet-melet hahaha |
|
Durian di
Bukit Doa Getsemani Pulau Samosir, siap menerkam hahahaha |
|
Durian di
Bukit Doa Getsemani Pulau Samosir, hahaha gayanya Sisi |
|
Rumah Doa di atas bukit di samping Patung Tuhan Yesus |
Di Bukit Doa Getsemani Pulau Samosir
|
Tiket Box Simanindo Pulau Samosir |
|
Tor tor di
Simanindo Pulau Samosir |
|
Penonton ikut serta ber-tor-tor
Tor tor di Simanindo Pulau Samosir |
|
Foto dengan Sigale-Gale di Simanindo Pulau Samosir |
|
Pintu Masuk
Tor tor di Simanindo Pulau Samosir |
Dari bukit doa kami menuju
Pangururan. Kami menyempatkan menonton tari tor tor di Simanindo dengan
membayar tiket masuk sebesar Rp50,000. Musik khas batak mengiringi para penari
terdiri dari kaum pria dan wanita. Tarian tor tor dengan latar belakang
kehidupan muda mudi batak, proses mejelang menikah, prosesi pernikahan, meminta
air, dilanjutkan dengan tari sigale-gale. Para penonton diajak untuk ikut
menari dengan beberapa kegarakan yang dilakukan secara berbaris. Setelah
selesai kami melanjutkan perjalanan ke Pangururan untuk makan siang.
Makan siang di lapo dengan menu standar saya; nasi, babi
panggang, sangsang dan soup. Kami berjumpa dengan Michael Hutauruk anak bungsu
dari Angkang Leonidas dengan tangan kanan yang tumbuh kurang sempurna karena
pada saat lahir tangan kanannya terjepit mulut rahim dan sulit ditarik. Saya
pernah bertemu Michael sewaktu berkunjung ke Tarutung sekitar tahun 2003 atau 9
tahun yang lalu. Saat ini dia baru lulus SMA dan saat ini setelah lulus dari
perguruan tinggi bekerja di Dinas Pertanian Pemda Toba Samosir. Setelah makan
siang masih di lapo ini, lagi-lagi rombongan makan durian sebagai hidangan
penutup J.
|
Hidangan Penutup makan siang.....Durian |
|
Nikmatnya Durian di Tanah Batak... |
|
Makan siang di Lapo Sagala Pangururan |
|
Michael Hutauruk anak dari Angkang Leonidas Hutauruk menyempatkan diri bertemu dengan kami, datang ke lapo |
|
Rumah Kahs Batak dengan gorganya yang mulai pudar karena dibangun sekitar awal abad 20 |
|
Makam ompung di tengah kampung |
|
Peengrajin ulos |
|
Darah berbicara...langsung akrab begitu tahu satu marga meskipun beda nomor generasi dan belum pernah bertemu selama hidup |
|
Salah satu perkampungan adat batak di sekitar Simanindo Pulau Samosir |
Dari sana kami lanjutkan perjalanan
ke desa sekitar Simanindo untuk melihat pengrajin Ulos. Beberapa kaum ibu
langsung menyiapkan ulos untuk dijajakan pada kami. Sementara rombongan
perempuan melihat ulos saya menyempatkan berkeliling kampung dengan bangunan
rumah batak. Tidak lama disana kami melanjutkan perjalanan ke desa Sialagan.
Memasuki desa Sialagan kami melalui
lorong yang hanya muat untuk satu orang dewasa. Dalam Kampung Sialagan terdapat
bangunan asli batak, juga sopo. Rumah raja yang terletak dekat pohon beringin
di tengah kampung di bagian depan terdapat semacam kurungan dengan patung orang
ada di dalamnya. Rupanya patung itu diumpamakan sebagai penjahat. Kami dibantu
guide yang menjelaskan mengenai motif batak serta sejarah kampung ini. Ada
motif payudara sebanyak 4 buah, bahwa perempuan yang bertetek besar akan
memiliki banyak anak. Binatang Cicak menyatakan bahwa sejauh mana orang batak
merantau harus kenal dengan orang tuanya dan bila meninggal juga harus kembali
ke kampung. Pada tiang lumbung terdapat Sigalapan, berbebtuk bundar untuk
menghindari tikus. Motif tali-tali gorga melambangkan hubungan kekerabatan,
dimana warna putih menunjukkan banua ginjang (sorga), warna merah menunjukkan
banua tongah (dataran tempat berpijak) dan warna hitam menunjukkan banua toru
(dalam tanah) tempat untuk proses pembusukan. Kegiatan adat menggali kubur atau
Mangokal Holi dilaksanakan setelah sekitar 15 tahun setelah dikubur, lalu
tengkorak dimasukkan dalam peti dan disimpan dalam bangunan tugu bukan dikubur
lagi.
|
Pintu masuk kampung Sialagan |
|
Rumah Raja Sialagan dengan penjara atau kurungan di bawah depan |
|
Ruang Pengadilan di kampung Sialagan |
|
Patung dukun di bawah pohon beringin |
|
Sopo difungsikan sebagai lumbung? |
|
Tugu tempat tulang belulang anggota keluarga yang digali dari kubur |
|
Ruang Eksekusi, meja makan di depan, di belakang kiri batu untuk menelentangkan terhukum, batu untuk pemancungan di sebelah kiri, diatas meja ada kalender batak, parang, serta Tunggal Panaluan (Magic Stick) |
Kembali ke penjahat yang dikurung
di depan rumah raja ini, biasanya dahulu dipasung selama tujuh hari untuk
menunggu hari baik pelaksanaan hukuman, karena umumnya penjahat yang harus
dikurung memiliki ilmu hitam (black magic). Para penjahat yang harus dihukum
mati oleh raja biasanya karena memerkosa, membunuh, dan berkhianat. Pengadilan
dilakukan di ruang terbuka di depan rumah raja. Bangku pada ruang pengadilan
besar sementara untuk terdakwa dibuat paling rendah. Untuk menentukan tanggal
pelaksanaan hukuman mati dihitung dari kalender batak sebanyak 12 bulan dengan
jumlah 30 hari setiap bulannya. Hari baik tersebut juga dilihat dukun dengan
berinteraksi pada alam dibawah pohon beringin. Setelah harinya ditentukan, sang
dukun dengan pustaha laktat melihat resep anti jimat yang dimiliki si terdakwa,
karena selain untuk mengobati ilmu sang dukun juga menguasai untuk mematikan
atau membuat sakit. Dalam berkomunikasi dengan alam atau roh, sang dukun
menggunakan tongkat panjang yang disebut Tunggal Panaluan atau Magic Stick yang
dapat digunakan untuk mendatangkan hujan. Tongkat tersebut terbuat dari kayu
yang kena kutuk atau karma dari manusia yang diusir karena malu yang biasanya
diakibatkan hubungan seks dalam satu keluarga atau incest, yang dikutuk menjadi
pohon (kayu).
Dari ruang pengadilan terbuka kami
lanjut ke ruang eksekusi yang juga terbuka. Pada ruang eksekusi terdapat meja
dimana si terdakwa sebalum dieksekusi dibeikan makanan yang paling disukainya.
Akan tetapi terdakwa makan dengan tangan terikat dan mata ditutup dengan ulos.
Kata ulos merupakan singkatan dari Unang Lupaon Sipangingot. Setelah mata
ditutup, terdakwa disiksa terlebih dulu, dicoba dengan diseset menggunakan
pisau. Apabila darah belum keluar maka dianggap ilmu hitam masih bekerja
sehingga harus dipukul dan sang dukun mencari lagi resep anti jimatnya.
Kemudian diseset lagi dan bila sudah merasa sakit dan berdarah lalu diberikan
asam untuk mempercepat hilangnya ilmu hitam terdakwa. Lalu setelah ilmu
hitamnya hilang kepala terdakwa dipenggal dan harus terputus dengan badan, bila
tidak putus maka sang algojo harus bertanggung jawab dengan dipancung juga,
karena proses persiapan sudah dilaksanakan, dan harus pastikan dulu sebelum
hukuman dilaksanakan. Saat kepala dan badan terpisah maka penonton menyambut
dengan kata Horas! Horas! Horas! Kemudian hati dan jantung si terhukum diambil
dicampur darah dan dimakan oleh raja, dengan tujuan agar kekuatan raja
bertambah. Selanjutnya kepala dipasang pada tongkat selama tiga hari dan badan
dibuang di Danau Toba dengan tujuan kepala dan badan terhukum tidak boleh
bersatu, dan setelah tiga hari kepala terhukum dikubur di hutan. Selama tiga
hari itu pula penduduk tidak boleh mengambil air dari Danau Toba. Setelah
mendengarkan guide kami melihat cendera mata sepanjang jalan keluar kampung.
|
Priscilla Rosemarie boru Hutauruk dan Rusli Hutauruk di depan penaja cendera mata di Tomok |
|
Priscilla Rosemarie Hutauruk di tangga ke makam Sidabutar di Tomok, perhatikan cicak dan empat buah payudara |
|
Berfoto meniru patung di kiri dan kanan di Tomok |
|
Salah satu makam Raja Sidabutar di Tomok Pulau Samosir |
|
Makan malam di Hotel Carolina Pulau Samosir |
Kami melanjutkan perjalanan ke
kampung Sidabutar di Tomok untuk melihat makam. Sebelum naik kami sempatkan
isturahat sambil minum kopi di salah satu café dekat pelabuhan Tomok. Banyak
penjaja cindera mata disini, tidak seperti 9 tahun lalu yang belum begitu ramai.
Kami membeli beberapa cendera mata disini. Lalu kami lanjutkan perjalanan untuk
makan malam. Kami makan malam di Hotel Carolina. Setelah makan kami kembali ke
Hotel Toledo Inn dan beristirahat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar